Salah satu keberhasilan dari gerakan reformasi politik 1998 ialah perubahan arah sistem politik dari sentalisasi menuju desentralisasi. Pencapaian ini tentunya memberikan daya optimisme baru bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan konstitusi 1945 yakni “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945”. Dengan terlaksananya kedaulatan rakyat maka rakyat turut berpartisipasi secara penuh dalam menyelenggarakan kekuasaan.
Dengan terlaksananya demokratisasi maka proses politik hanya terjamin bila menggunakan kompetisi sebagai mekanismenya. Bagi pemilu, maksud itu tercapai lewat kontestasi politik yang bebas, jujur dan adil. Dalam pemilu masyarakat diberikan kebebasan menggunakan hak sebagai warga negara untuk memilih sendiri pemimpin yang sesuai dengan hati nurani. Tentunya dalam proses penyelenggaraan pemilu tersebut masyarakat terdorong oleh suatu keyakinan penuh akan tersalurnya aspirasi mereka dengan baik, memperhatikan kehidupan mereka dan berjuang untuk kepentingan bersama (bonum commune).
Namun de facto, Kontestasi politik elektoral di tingkat lokal beberapa tahun terakhir kurang menjamin nilai kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Hal ini dipicu oleh suatu gerakan politik yang disebut sebagai gerakan politik patronase. Politik patronase adalah politik yang merujuk pada barang materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada para pemilih atau pendukung. Praktik politik patronase ini digunakan sebagai salah satu strategi para kontestan untuk mendulang dukungan dari para konstituen.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Edward Aspinall, dkk. fenomena politik patronase dan klientelisme sangat subur dalam pemilu legislatif (pileg) 2014. Menurut cacatan para peneliti tersebut, pileg 2014 adalah pileg yang paling buruk dalam sejarah kontestasi politik di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena setiap caleg (calon legislatif) masing-masing memainkan strategi politik uang (money politic) melalui jalur politik patronase dan jaringan klientelisme.
Merujuk pada Shefte sebagaimana yang dikutip oleh Edward Aspinall dan Made Sukmajati, politik patronase adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau tim kampanye dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka. Dengan demikian, politik patronase merupakan suatu pendistribusian berupa uang tunai, barang, jasa, keuntungan ekonomi lainnya (seperti pekerjaan, atau kontrak proyek) oleh politisi baik kepada individu (misalnya berupa uang tunai) maupun kepada kelompok (misalnya lapangan sepak bola baru untuk para anak muda di sebuah kampung).
Praktik politik patronase sebenarnya bukan suatu fenomena baru dalam sebuah kontestasi politik di Indonesia pasca-reformasi. Namun, fenomena ini sudah terjadi jauh sebelumnya. Pada masa orde baru gerakan politik patronase sering kali terjadi hanya saja getahnya kurang dirasakan. Hal itu terjadi karena, pada masa orde baru sistem pemerintahan bersifat sentralistik – kekuasaan merepresi kebebasan individu untuk mengikuti aturan main. Sedangkan, era pasca Soeharto dengan terbentuknya desentralisasi fenomena politik patronase semakin berkembang karena masyarakat yang menjadi pusat penentu kemenangan sebuah kontestasi. Maka, untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin para kontestan menggunakan gerakan-gerakan politik informal berupa politik patronase dan klientelisme.
Dalam politik patronase, sebagaimana yang diutarakan oleh Scott adalah jaringan politik yang dibangun antara patron (dia yang memiliki kedudukan sosial ekonominya tinggi dalam suatu masyarakat) dengan klien (orang-orang tidak mempunyai apa-apa). Maka, jaringan itu terbentuk melalui pemenuhan kebutuhan masyarakat yang berkekurangan dan sebagai bentuk balasannya, masyarakat memberikan dukungan berupa “suara” dukungan politik. Dan apabila, relasi patron-klien tidak memiliki hubungan sama sekali maka patron menggunakan perantara untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Aktor perantara itu disebut broker. Dialah yang membangun komunikasi dengan masyarakat agar proses “penjalaan” suara dapat berjalan dengan efektif.
Tentunya strategi politik patronase dipengaruhi oleh situasi kehidupan masyarakat yang jamak. Artinya kondisi-kondisi sosial tertentu (necessary conditions) yang ada dalam suatu masyarakat membentuk suatu gerakan politik patronase. Misalnya hasil penelitian Campbell di kalangan orang Sarakatsan di Yunani, menemukan bahwa hubungan patron-klien antara kepala desa dan pemilik ternak di dukung oleh kondisi kalangan sumber daya alam berupa tanah penggembalaan yang baik serta besarnya kekuasaan yang diberikan kepada kepala desa. Sedangkan untuk konteks Indonesia, suburnya patronase dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang jauh dari kondisi kesejahteraan. Kesejahteraan masih sebatas jargon politik yang utopis bagi para penguasa. Padahal isu terpenting dalam ranah publik ialah isu pelayanan publik, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dan keamanan. Karena adanya distribusi ketimpangan kesejahteraan maka para kontestan politik memolitisasi isu tersebut sebagai strategi empuk mendapat dukungan dari rakyat.
Politisasi yang dimaksudkan ialah upaya atau tindakan yang menjadikan isu-isu dan kepentingan warga yang semula terabaikan atau tereksklusif dari agenda publik bertransformasi menjadi isu-isu strategis dan kepentingan publik, baik dilakukan melalui strategi aksi maupun deliberasi. Misalnya kontestasi politik di Bandung tahun 2013 menunjukkan bahwa politisasi isu kesejahteraan menjadi isu sentral yang menarik para kontestan untuk merebut suara rakyat. Karena kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan masyarakat tidak berjalan dengan baik maka para kontestan masuk ke dalam situasi tersebut dan seolah-olah menjadi aktor penyelamat (salvator) kebutuhan masyarakat dengan memberikan barang material. Atau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagaimana yang diteliti oleh Rudi Rohi bahwa isu strategis yang digunakan oleh seorang patron berupa pemenuhan kebutuhan hidup dengan mendistribusikan sejumlah barang kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa terjadi dengan merujuk pada data statistik kemiskinan di Indonesia, Provinsi NTT adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia.
Hemat penulis praktik politik seperti ini dapat membahayakan nilai-nilai eksistensial yang terkandung dalam demokrasi yakni kebebasan individu dalam menentukan pilihan politiknya yakni bebas, jujur dan adil. Menurut Robert Dahl, ada beberapa keutamaan yanag terkandung dalam Demokrasi; pertama, jamin adanya perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan warga negara. Hak dan kebebasan itu bukan diberikan oleh negara tetapi sesuatu yang ada (in se) dalam diri setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak dan kebebasan itu dapat berupa; hak berserikat, hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan informasi, bebas dari rasa takut, bebas dari kelaparan, bebas beragama dan bebas dari kebodohan.
Kedua, partisipasi aktif seluruh rakyat sebagai warga negara dalam kehidupan politik dalam kemasyarakatan (participatory democracy). Ketiga, sistem memilih dan menggantikan penyelenggara negara lembaga legislatif dan yudikatif pada tingkat nasional dan daerah melalui penyelenggara pemilu yang langsung, bebas, umum, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Salah satu ruang untuk mengaktualisasikan kebebasan dan hak asasi itu ialah partisipasi dalam pemilihan umum. Dalam pemilu setiap warga negara diharapkan untuk menggunakan hak dan kebebasan untuk memilih pemimpinnya secara otonom. Dalam diri yang otonom itu, seseorang menjatuhkan pilihan politik secara rasional. Rasionalitas berkaitan dengan aspek pengetahuan yang memaksa orang untuk berpikir kritis terhadap calon yang akan bertarung. Jane Addams, seorang aktivis sosial dalam bukunya Democracy and Social Ethics mengatakan demokrasi seharusnya tidak hanya menjadi konsep politik tetapi juga cara hidup.
Jadi, dalam kontestasi politik yang demokratis permainan politik patronase dapat merusak nilai demokrasi itu sendiri. Ia mereduksi hak dan kebebasan masyarakat pemilih dengan memberikan mereka sejumlah barang material. Rasionalitas masyarakat tumbul dengan hadirnya barang-barang material dari para politisi. Demokrasi itu bukan berlandaskan pada asas ekonomis yang kuat tetapi ideologi yang tinggi. Kandidat yang mempunyai ideologi yang baik untuk kesejahteraan masyarakat akan memiliki peluang menjadi pemenang dalam kontestasi. Demikian pun sebaliknya, kandidat yang memiliki kekuatan ideologi lemah niscaya akan kalah dalam berkontestasi. Selain merepresi kebebasan masyarakat, praktik politik patronase sifatnya karitatif. Artinya, dalam negara demokrasi, seorang pemimpin tidak boleh melakukan pemberian yang bersifat karitatif. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memberikan sesuatu kepada masyarakat karena itu adalah hak rakyat. Jadi, pemberian dari negara bukan merepresentasikan kebaikan individu yang memberi (pemimpin) tetapi itu adalah hak dari masyarakat itu sendiri.
Merespons masifnya praktik politik patronase di Indonesia yang berpotensi menghancurkan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi maka upaya solutif yang ingin dianjurkan dalam tulisan ini ialah keterlibatan kaum cendekiawan Indonesia untuk melakukan edukasi politik kepada masyarakat tentang bahaya dari politik patronase. Cendekiawan yang dimaksudkan ialah orang-orang yang memiliki pengetahuan teoritis yang luas, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan mempunyai daya transformasi sosial yang tinggi. Dengan modal yang dimilikinya itu, para cendekiawan dapat bergerak menentang realitas sosial yang penuh dengan penindasan, ketidak-adilan. Antonio Gramci memberikan nama “organik” kepada cendekiawan yang mengartikulasikan pandangan hidup dunia, kepentingan, tujuan dan kemampuan kelas tertentu.
Dalam catatan historis tentang ekspansi gerakan kaum intelektual dipenjuru dunia, sudah terekam jelas bahwa gerakan kaum intelektual mendapat respon yang positif di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi karena peran kaum intelektual dalam peradaban dunia sangat tinggi. Salah satu intelektual ternama ialah Rousseau. Menurut catatan Ignas Kleden, perkembangan intelektual Rousseau berawal dari minat dan nafsu untuk membaca buku baik yang diwariskan oleh ayahnya maupun yang ada di perpustakaan-perpustakaan perempuan. Dia mencoba mempelajari sesuatu dengan tekun, rajin dan konsisten. Al-hasil petualangan intelektualnya itu mempengaruhi daratan Eropa pada abad-18 dan sesudahnya, yang kemudian menjadi suatu gerakan Romantik dalam filsafat, seni dan gaya hidup. Gerakan ini kemudian menjadi gerakan yang mempengaruhi rasionalisme masa percerahan yang memposisikan manusia pada akal dan kekuatan akal. Rousseau membelokkan paradigma ini dengan memperkenalkan paradigma hidup baru yang berlandaskan pada perasaan yang spontan, yang muncul dengan kuat, leluasa dan tanpa kekang.
Selain Rousseau, gambaran cendekiawan tanah air, misalnya Soedjatmoko yang berani menentang sistem politik Indonesia yang membusuk. Usaha awal yang dilakukan oleh Soedjatmoko ialah mengambil peran sebagai intelektual aktif dengan bekerja sebagai editor harian Pedomaan dan majalah mingguan politik Siasat. Dari situ, dia memperlajari dan merespon segala bentuk pertikaian ideologi politik. Bagi dia, pembangunan ekonomi adalah syarat mutlak untuk mengatasi berbagai persoalan di Indonesia. Lebih lanjut dia terangkan bahwa kemerdekaan dan kemungkinan untuk menentukan nasib sendiri tergantung dari kesanggupan meluncurkan pembangunan ekonomi yang proposional.
Atas dasar perjuangan yang keras itu, pada tahun 1980, Soedjatmoko dipercayakan untuk menjadi Rektor Universitas PBB. Masalah-masalah yang harus dikerjakan oleh Soedjatmoko ialah perdamaian, keamanan, ekonomi, kemiskinan, pembangunan manusia dan ilmu pengetahuan. Setelah menjabat sebagai Rektor PBB tahun 1987 Soedjatmoko kembali ke Indonesia. Namun, pada saat ia kembali ke Indonesia, presiden Soeharto tidak memberikan jabatan formal kepada orang yang berusia 65 ke atas. Tetapi Soejadmoko tidak berkecil hati. Ia sendiri menganggap sebaiknya tidak semua intelektual masuk dalam lingkaran kekuasaan. Harus ada yang berada di luar gelanggang agar dapat berimbang antara negara dan masyarakat terjaga. Corak berpikir seperti ini juga pernah dilontarkan oleh seorang cendekiawan Indonesia yakni Soe Hok Gie. Gie katakan seorang intelektual harus berdiri di luar jaringan kekuasaan untuk menggulingkan rezim kekuasaan yang buruk. Ia adalah seorang pejuang yang sendirian. Ia bertahan menjadi seorang intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian dan menderita serta tetap setia dengan cita-cita kemanusiaannya.
Pada tahun 1988, Soedjatmoko memperoleh The Grand Gordon of The Order of the Sacred Treasure (Bintang Tanda Jasa Harta Suci Agung) dari kaisar Jepang. Penghargaan ini diperoleh karena Soedjatmoko berhasil memajukan kerja sama antara PBB dan kelompok ilmuwan Jepang dan peningkatan pengertian masyarakat Jepang atas masalah-masalah dunia ketiga. Tulisannya yang berjudul Development and Freedom menarik perhatian masyarakat Jepang untuk menata peranan yang harus dimainkan dalam menatap masa depan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa salah satu tanggung jawab dari cendekiawan itu ialah melakukan transformasi daya berpikir masyarakat melalui edukasi politik seperti yang telah dilakukan oleh Soedjatmoko di atas agar tidak terjebak dalam praktik politik kotor. Dalam konteks politik patronase, transformasi daya pikir masyarakat dapat menyelamatkan masa depan demokrasi bangsa Indonesia. Demokratisasi bangsa Indonesia mesti dibangun atas dasar kesadaran masyarakat yang tinggi; yang bisa berpikir sendiri dan yang tahu membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Addams katakan salah satu cara untuk mengamankan demokrasi ialah dengan meningkatkan tanggung jawab bagi seluruh masyarakat (termasuk para cendekiawan).
Maka dengan itu, hemat penulis sebagai salah satu aktor intelektual, para cendekiawan terpanggil untuk melakukan transformasi radikal menuju masyarakat demokratis yang penuh kesadaran politik yang tinggi. Dengan menanam nilai-nilai politik yang bermartabat kepada masyarakat, masyarakat niscaya memiliki pengetahuan sebagai senjata untuk melumpuhkan praktik-praktik politik kotor termasuk politik patronase yang marah terjadi hingga saat ini.
Hal ini yang perlu dicatat bahwa Soedjatmoko adalah satu dari sekian banyak cendekiawan tanah air yang memiliki corak berpikir militan dan prrogresif dalam membangun tatanan kehidupan manusia dalam suatu negara. Para cendekiawan lain misalnya ialah Soekarno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya. Mereka inilah yang hemat saya adalah tokoh cendekiawan yang layak untuk dijadikan cerminan kebangkitan cendekiawan saat ini. Mereka telah membuka jalan yang lebar dan luar tentang bagaimana seharusnya cendekiawan bersikap.
Oleh karena itu, untuk memperdalam seluruh pembahasan di atas maka penulis mengusung judul “ Politik Patronase Sebagai Tantang Demokrasi Di Indonesia Dan Cendekiawan Sebagai Gerakan Alternatif.” Dengan mengusung judul ini, penulis berusaha membaca fenomena politik patronase di Indonesia dan bahayanya bagi demokrasi. Selain itu juga, penulis mencoba melibatkan aktor cendekiawan sebagai gerakan alternatif terhadap politik patronase itu sendiri.