Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 November 2023

Etika Keduniawian dan Relevansi Praktis di Tengah Dunia

 

Oleh: Vayan Yanuarius

Yosep Keladu menulis buku Etika Keduniawian menurut Hannah Arendt. Dalam buku tersebut ada  tiga poin penting yang hemat penulis sangat relevan dengan kehidupan politik jaman sekarang. Poin pertama membicara tentang modernitas: nihilistik dan Alienatif. Kedua ialah berpikir tentang dunia dan tanggung jawab, dan ketiga ialah menilai tindakan politik dan pencaharian makna. Ketiga poin utama dalam buku ini akan bermuara pada titik dimana Yosef Keladu memberikan afirmasi ulang dalam konteks kejahatan politik di tanah air yakni tindakan korupsi. Namun, untuk sampai pada titik kulminasi penjelasan buku ini, Yosef Keladu mengajak pembaca untuk mengenal secara garis besar siapa itu Hannah Arendt dan bagaimana maksud dari Etika Keduniawian itu sendiri.

Hannah Arendt adalah seorang filsuf perempuan berbangsa Jerman. Pemikirannya cukup progresif dalam bidang etika dan politik. Dalam menganalisis kehidupan politik, Arendt menggunakan pisau analisis fenomenologis yang mengindikasikan karakter hidup manusia di dunia yang bersifat faktual dan eksperiensial. Artinya ialah Arendt mengadopsi metode fenomenologis untuk menangkap struktur dasar pengalaman politis kehidupan manusia. Karena itu, Arendt sangat menghormati pluralitas kehidupan manusia. Pluralitas menurut Arendt adalah suatu keunikan yang perlu dilestarikan karena pluralitas merupakan unsur pembentuk suatu Negara. Sikap yang terpenting dari faktum pluralitas ialah komitmen dan tanggung jawab terhadap dunia kehidupan (lebenswelt) bersama.
Lebih lanjut Arendt menegaskan bahwa ada bersama dan di antara orang lain harus menjadi pusat dan fokus dari aktivitas politik.

Lalu, apa yang dimaksudkan dengan Etika Keduniawian? Menurut Reymond Geuss ada dua pengertian tentang Etika. Pertama, etika berarti peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana kita bertindak kearah orang lain. Kedua, etika menunjuk pada cara melihat dan berpikir tentang manusia (hal. 12). Sedangkan, term keduniawian diartikan sebagai dunia itu sendiri (hal. 13). Arendt dengan sengaja menggunakan term keduniawian karena menurut dia term keduniawian menunjukan kondisi eksistensial manusia dan realitas dunia. Karena itu, dalam Human Condition, Arendt mengatakan “manusia adalah ada yang terkondisikan karena segala sesuatu yang berkontak dengan mereka akan secara langsung menjadi sebuah kondisi hidup mereka. Apa saja yang menyentuh atau masuk ke dalam sebuah relasi yang tetap dengan hidup manusia secara langsung menjadi karakter dari kondisi eksistensial manusia”.

Poin pertama yang dibahas dalam buku ini ialah konsep modernitas: nihilistik dan Alienatif. Poin ini dikritik oleh Arendt karena menurut dia modernitas yang menciptakan kondisi worldlessness atau anti-politik. Worldlessness adalah kondisi yang kondusif terciptanya kejahatan melawan kemanusiaan atau mengondisikan orang untuk menjadi pelaku kejahatan. Dalam konteks ini Arendt mencoba mengangkat ke permukaan peristiwa pembantaian ribuan jiwa manusia di Jerman pada jaman Hitler di bawah komandan Eichman. Bagi Arendt, kejahatan yang dilakukan oleh Eichman merupakan salah satu bentuk dari worldlessness.

Friedrich Nietzsche menyebut worldlessness sebagai kehilangan dunia dan secara terbuka menilai nihilisme sebagai penyebabnya. Nihilisme adalah keyakinan bahwa nilai-nilai tertinggi tidak dapat direalisasikan dalam dunia (hal. 28). Konsep inilah yang mendasari pemikiran Nietzsche yang mengatakan “Tuhan telah mati”. Sementara Haidegger mempertimbangkan efek lain dari nihilisme. Menurut Haidegger nihilisme merupakan salah satu bentuk penyangkalan terhadap objek-objek yang ada di dunia ini. Dia mengatakan sesuatu dianggap riil kalau objek itu dispesifikasi lebih dahulu dalam intelek manusia (hal. 31). Hal ini disebut sebagai a priori representation.

Dari perspektif di atas, Arendt menilai bahwa bahaya nihilisme adalah berhentinya aktivitas manusia untuk berpikir (thoughtless). Ketika orang berhenti untuk berpikir maka besar kemungkinan manusia kehilangan daya kritis untuk menilai segala sesuatu yang baru.
Sementara, dalam konteks alienasi, Arendt menganalisis bahwa modernitas dapat menciptakan alienasi manusia dari dunia yang dipahami sebagai ruang bersama. Alienasi kemudian tampak jelas dalam filsafat modern yang dimulai oleh Socrates. Hal ini bertolak dari keraguan atas eksistensi dunia. Karena segala sesuatu yang berada di luar intelek diragukan eksistensinya maka satu-satunya cara untuk mencapai kepastian ialah introspeksi. Introspeksi menghancurkan aktualitas dengan memasukkan objek-objek dunia ke dalam intelek. Akibatnya ialah pemikiran manusia adalah hal yang paling pasti.

Poin kedua yang mau diangkat dalam buku ini ialah tanggung jawab terhadap dunia. Dunia dibentuk ketika manusia ada bersama untuk bertindak dan membicarakan persoalan bersama (hal. 91). Dengan demikian, dunia bersifat rapuh ketika setiap orang bertindak secara individual. Karena sifatnya yang rapuh itu maka Arendt berbicara tentang tanggung jawab terhadap dunia. Arendt sungguh percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi kerapuhan dunia ini. Keyakinan Arendt ini diadopsi dari konsep amor mundi, cinta akan dunia yang diambilnya dari St. Agustinus.
Konsep cinta kemudian diperluas maknanya oleh Arendt sebagai rasa kepedulian terhadap dunia. Ketika orang peduli dengan dunia, orang akan berupaya untuk memahami atau mengetahui dunia dan menilai apa yang sedang terjadi di dalamnya. Dengan berpikir tentang dunia kita berusaha mencitakan situasi yang kondusif dan efektif bagi kehidupan.
Selain kepedulian yang tinggi terhadap dunia, kita juga diajak untuk menjadikan dunia ini sebagai rumah kita sendiri. Arendt membicarakan hal ini dengan maksud supaya kita bercerita dan mengingat, seta pentingnya mengampuni dan berjanji. Tujuannya ialah untuk mempertahankan eksistensi sebuah dunia sebagai tempat kehidupan manusia.

Poin ketiga ialah menilai tindakan politik. Arendt mengindentifikasikan tindakan dan politik, dalam arti bahwa tindakan adalah politik dan politik adalah tindakan. Menurut Arendt ada kesamaan antara tindakan dan politik. Keduanya didasarkan pada kondisi pluralitas. Namun ada kemungkinan runtuhnya politik jika kita salah memahami politik itu sendiri. Misalnya, pertama ialah konsep politik ditarik ke dalam kodrat manusia sebagai makhluk politik. Asumsi ini dinilai keliru kerena tidak ada sesuatu yang bersifat politis dalam diri manusia.
Kedua ialah manusia secara kodrati tidak cocok untuk hidup bersama karena terjadi perang semua melawan semua seperti yang gagaskan oleh Thomas Hobbes. Realitas perang di atas membuat kehidupan manusia dalam keadaan alamiah tidak mempunyai makna sama sekali. Dalam penilaian Arendt, ide dari Hobbes di atas mereduksi sekaligus mengeliminasi pluralitas dan kebebasan berbicara dan bertindak. Menurut Arendt kita tidak dilahirkan dalam kemampuan yang sama atau sederajat. Kesederajatan kita dapat terjadi ketika kita membangun peradaban bersama untuk menjamin hak yang sama di antara kita.

Berpikir tentang dunia atau politik hendaknya melengkapi dengan kemampuan untuk menilai tindakan. Kerena itu, untuk menilai tindakan manusia kita, pada umunya menggunakan perspektif moral deontologi dan utilitarianisme. Kedua perspektif ini sangat membantu untuk menilai apakah sebuah tindakan baik atau jahat. Namun, Arendt menyangsikan kedua perspektif moral di atas karena bagi Arendt tindakan dinilai bukan berdasarkan pada kebaikan (goodness) tetapi kebesaran (greatness). Artinya ialah sebuah tindakan dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang terungkap atau ditemukan dalam pelaksanaan tindakan itu sendiri.

Untuk mempertajam pemahaman akan tindakan politik, Yosef Keladu menguraikan konsep Arendt tentang penilaian reflektif. Arendt melakukan observasi dari bukunya Kant, Critique of Judgment. Ia menemukan bahwa Kant mendefenisikan penilaian adalah kemampuan untuk memikirkan hal-hal partikular sebagaimana termasuk dalam hal-hal universal. Jika hal-hal universal (peraturan, prinsip, dan hukum) diberikan, maka penilaian di mana hal-hal partikular dimasukan ke dalam yang universal disebut determinate. Karena itu, penilaian relektif berupaya untuk menemukan yang universal dalam penilaian partikular dan dengan demikian penilaian reflektif bertujuan membentuk isi yang bersifat konkret dan dapat dikomunikasikan secara universal dari pengalaman.

Arendt juga menekankan dalam menilai kita hendaknya mempertimbangkan pendapat orang lain. Hal ini menunjukan respek terhadap orang lain, karena seperti diri kita sendiri, orang lain adalah pribadi-pribadi yang bertindak dan berpikir. Keyakinan pada kemampuan orang lain untuk mengidikasikan bahwa semua manusia mempunyai kemampuan yang umum dan karena itu dapat menilai dari yang berbeda dari dunia. Karena itu, Arendt menekankan batasan etis dari semua penilaian adalah perbuatan atau perkataan yang bertahan dalam dunia manusia. Hal itu berarti perhatian yang khusus terhadap yang partikular untuk kebaikan bagi semua orang atau publik. Jadi, setiap kali kita menilai sebuah tindakan yang terjadi dalam dunia, kita mengamati apa kehebatan dari tindakan tersebut untuk masyarakat umum (publik).

Poin terakhir dari buku Etika Keduniawian ialah banalitas kejahatan korupsi dan aktivitas berpikir. Poin ini menjadi titik simpul ulasan dari Yosef Keladu. Yosef Keladu mengangakat kasus korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Dia mengatakan korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap banalitas. Artinya korupsi dipandang sebagai faktum yang biasa-biasa saja karena sering dilakukan. Persoalan muncul ketika korupsi ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, kehidupan rohani sangat baik dan pengetahuan yang sangat luas. Karena itu, Arendt mengatakan bahwa terlalu naif kalau kita katakan korupsi terjadi karena system yang memungkinkan seseorang bertindak korupsi.

Menurut Arendt, sistem itu diciptakan oleh manusia. Karena itu, sifatnya tidak permanen dan dapat diubah ketika system itu tidak produktif untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi memang dilakukan oleh manusia dengan tingkat kesadaran yang tinggi khususnya para pejabat publik atau aktor politik. Mereka kurang mampu untuk mengasah daya kritis dan representatif ketika berhadapan dengan system yang mereka ciptakan sendiri.

Menurut penulis keunggulan dari argumentasi Arendt terletak pada kemampuannya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang ada. Dia tidak sebatas pada penemuan akar persoalan dari korupsi tetapi lebih dari itu yakni solusi. Solusi yang ditawarkan oleh Arendt ialah aktivitas berpikir. Menurut Arendt, seperti yang disinggung pada poin sebelumnya bahwa berpikir merupakan jaringan yang paling aman untuk melawan kejahatan termasuk korupsi. Dan, dalam aktivitas berpikir hal pertama yang mesti dilakukan ialah refleksi, melihat diri sendiri atau berpikir tentang diri sendiri. Karena itu, ia harus berdialog dengan diri sendiri seperti yang sering dilakukan oleh Socrates. Socrates pernah mengatakan bahwa lebih baik bagiku kalau banyak orang tidak sepaham dengan saya dan menentang saya daripada saya bertentangan dengan diriku sendiri.

Arendt akhirnya dengan penuh kepercayaan menilai kejatahatan korupsi bisa diatasi apabila seseorang yang berada di dalam lingkaran kekuasaan terus mengasah kemampuan berpikir reflektif. Karena berpikir reflektif dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang produktif dan berdaya guna bagi banyak orang.

Kamis, 02 November 2023

Artificial Intelligence: Tantangan Manusia Abad-21

Oleh: Vayan Yanuarius

I. Pendahuluan

Media The Conversation.com beberapa bulan terakhir menyajikan tulisan yang menarik tentang Artificial Intelligence (AI). Media tersebut mempublikasikan tulisan tentang AI dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, AI dilihat sebagai sesuatu yang mengancam tatanan kehidupan manusia saat ini. Misalnya tulisan Arif Perdana dari Monas University, Daniel Prince dari Lancaster University, Ayu Anastasya dari Universitas Padjadjaran, dll. Kedua, AI dilihat sebagai peluang emas yang harus dimanfaatkan seakurat mungkin untuk menciptakan tatanan kehidupan manusia saat ini. Misalnya tulisan Eun Young dari University of Portsmounth, Rino Putama, dari The Conversation, Albert J. Rapha dari Universitas Diponegoro, dan Hafiza Raisya Indrani dari Yayasan Kopenik.

Hemat penulis, perdebatan para intelektual di atas tentunya sangat menarik untuk ditelaah sejauh mungkin agar bisa menemukan benang merah yang bisa menyikapi AI demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang lebih baik. 

Penulis melihat, kehadiran AI lebih pada tantangan yang harus diterima saat ini. Namun, pada saat yang sama AI perlu disikapi dengan bijaksana karena mampu mempermudahkan dan mempercepat efektivitas kerja manusia. Sistem kerja dari AI ini kurang lebih menghampiri dengan kecerdasan manusia alami. Dengan demikian, manusia tidak lagi mengandalkan kemampuan sendiri untuk melakukan transformasi tatanan kehidupan yang lebih baik
 
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas pertanyaan yang muncul ialah bagaimana AI dilihat sebagai tantangan dan peluang bagi terciptanya tatanan kehidupan manusia abad 21 ini? Bagaimana menyikapi dampak negatif dari AI bagi kehidupan masyarakat saat ini? pertanyaan-pertanyaan di atas akan diperjelas dalam ulasan berikut ini.

II. Artificial Intelligence, Apa itu?

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) merupakan salah satu bagian dari ilmu computer yang beroperasi dalam bentuk mesin (computer) seperti dan sebaik yang dikerjakan oleh manusia. Sejarah mencatat, pada awalnya computer hanya digunakan sebagai alat untuk menghitung. Namun, zaman semakin berubah, manusia juga ikut berubah. Perubahan yang signifikan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk aspek teknologi yang di mana terjadi perluasan pemanfaatan computer yang awalnya digunakan sebagai alat untuk menghitung tetapi berkembang menjadi alat bisa mengoperasi segala sesuatu seperti yang dilakukan oleh manusia. Jadi, artificial intelegence merupakan suatu proses pengolah data dan sistem dalam computer sehingga menyerupai sistem kerja manusia (Hendra Jaya, dkk, 2018:3).

Artificial Intelligence (AI) pertama kali disebut pada tahun 1956 dikonfrensi Darthmouth. AI sejak itu sudah menjadi agenda prioritas sebab teori-teori dan prinsip-prinsip kerja AI mengalami perkembangan. Misalnya era computer elektronik 1941 telah menemukan alat penyimpanan dan pemrosesan informasi. Tahun 1949 komputer mengalami perkembangan. Komputer bisa menyimpan program yang menjadi cikal bakal pengembangan program yang mengarah ke AI. (Ibid., 7) .

Pada tahun 1952-1969, AI mengalami banyak kesuksesan. Kesuksesan itu dimulai oleh Newell dan Simon yang berhasil mengubah program yang disebut General Problem Solver. Program ini dirancang untuk memecahkan masalah secara manusiawi. Setelah itu, McCarthy berhasil menciptakan program yang dinamakan Program With Common Sense. Program ini dirancang untuk menggunakan pengetahuan dalam mencari solusi. Misalnya computer mampu mendiagnosa penyakit yang dialami manusia secara akurat. Jadi, computer memudahkan manusia untuk mengetahui sebab sebuah penyakit (Ibid.).

Secara komersial, Artificial Intelligence (AI) memiliki keunggulan seperti bersifat permanen, mudah didublikasi dan disebarkan, lebih murah, bersifat konsisten, dapat didokumentasi, proses kerjanya lebih cepat, dan hasilnya lebih baik. Tentunya, keunggulan-keunggulan di atas bermuara pada efektivitas kerja manusia sehingga manusia hanya melakukan perkerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh AI (Ibid., 12)

III. AI dan Bencana Kemanusiaan Abad 21

 Suatu perubahan niscaya melahirkan keuntungan dan kerguian. Dari segi kerugian AI membawa bencana kemanusiaan pada umumnya. Hal ini bisa terjadi sebab system kerja AI lebih canggih dari system kerja manusia yang syarat menggunakan media konvensional. Beberapa fenomena bencana yang disebabkan oleh system kerja AI;

 Fenomena Disinformasi
Perkembangan teknologi saat ini makin besar. Hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki alat teknologi seperti Handpone. Kehadiran Handpone menandakan bahwa dunia mengalami kemajuan yang sangat signifikan bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia tidak lagi menggunakan media konvensional untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki jarak geografis yang jauh. Tetapi, dengan meletakkan jari di atas permukaan layar handpone, dalam sekejab mata komunikasi itu berjalan lancar.

Namun, perkembangan teknologi yang semakin canggih di satu sisi membawa dampak negatif bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang beradap. Hal ini terjadi dengan melihat data statistik penyebaran informasi palsu atau disinformasi di media sosial yang semakin meningkat. Arif Pendana dalam artikel berjudul “AI dan Disinfomrasi: Bagaimana Kecerdasan Buatan dapat Memperparah Penyebaran Hoaks Jelang Pemilu 2024” memaparkan bahwa disinformasi menjelang pemilu 2024 terus meningkat. Penyebaran disinformasi ini melalui AI yang memiliki kemampuan menciptakan dan mengamplifikasi disinformasi (Arif Pendana, 2023).

Berdasarkan Laporan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), penyebaran Hoaks di media sosial sering terjadi melalui aplikasi pengiriman pesan seperti WhatApp, Telegram, dan Line (F.X. Lilik Dwi Marjianto, 2023). Persis pada titik ini, AI memiliki keunggulan untuk mempublikasi dan menyebar informasi secara cepat seperti yang dijelaskan oleh Hendra Jaya, dkk. Namun, keunggulan AI dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyebarkan disinformasi kepada publik.

 AI dan Fenomena Peretasan Data Pribadi

Fenomena peretasan data pribadi menjadi persoalan besar era digital saat ini. Peretasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mengambil data pribadi seseorang dan dipublikasikan ke ruang publik. Sistem peretasan data pribadi ini dilakukan melalui aplikasi ChatGPT yang merupakan bagian dari sistem kerja AI (Uri Gal, 2023). 

ChatGPT bisa membangun interaksi dengan manusia melalui teks, pesan obrolan, email, dan telepon. Jika mereka memperoleh lebih banyak hal tentang diri kita maka mereka lebih mudah menebak kata sandi atau pin akun-akun pribadi (Daniel Prince, 2023). Misalnya kita memposting status di facebook, kemungkinan besar status dan data diri dikonsumsi oleh ChatGPT. 

Keunggulan AI ialah bisa menyamar sebagai pelayan sah, Bank, atau pejabat. Ketika interaksi itu terjadi, maka data pribadi dapat direkam dengan sendirinya.
Dampaknya bagi masyarakat pengguna media sosial ialah masyarakat tidak mengetahui secara persis bagaimana sistem kerja AI melalui aplikasi ChatGPT. Dengan tingkat kemampuan masyarakat yang masih rendah, AI dapat bekerja secara efektif untuk mengambil data privasi seseorang. Jadi, kehadiran AI sebenarnya sedang meroboh tembok pemisah antara data pribadi dengan data umum. Data pribadi bisa menjadi data umum tanpa sepengetahuan pribadi korban.

 AI dan Fenomena Pengangguran

Artificial Inteligence (AI) menurut fisikawan Setphen Hawsking dan Investor Elon Musk akan bekerja melampaui kemampuan manusia. Hal ini terjadi karena system kerja AI dapat meniru fungsi kerja kognitif manusia seperti pembelajran dan pemecahan masalah, misalnya para ilmuwan dapat meningkatkan kemampuan AI dengan meningkatkan system kerja saraf AI untuk bisa mengeja tata bahasa, memahami makna dari sebuah gambar, mengenali ucapan, dan menerjemahkan bahasa (Marko Robnik-Sikonja, 2017). 

Dengan tercitapnya funsi kognif pada AI maka konsekuensinya ialah manusia kehilangan kesempatan untuk bekerja. AI akan mengantikan posisi manusia dalam dunia kerja. Hal yang sama juga diuturakan oleh Frans Magnis-Suseno dalam bukungya berjudul Iman dalam Tantangan, Apakah Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberang”? (2023). Magnis-Suseno milihat salah satu tantangan manusia abad-21 ini ilaha kehadiran AI yang dapat mempersempit ruang kerja manusia dan menciptakan pengangguran tinggi. Pernyataan ini ekuivalen dengan hasil penetian menunjukkan kecerdsan buatan menyebabkan sekitar 230 ribu pekerja disektor keuangan hilang pada 2025. Pergeseran manusia dari dunia kerja mengakibatkan pada tingkat pengangguran semakin tinggi. Manusia kehilangan pekerjaan sebagai fondasi dasar untuk meningkatkan mutu kehidupan.
IV. Artificial Intelligence Sebuah Keniscayaan

Filsuf Yunani Kuno, Hiracletos mengatakan Nothing endures but change (Tidak ada sesuatu yang abadi, kecuali perubahan). Ungkapan Hiracletos di atas tentu berawal dari suatu petualangan intelektual yang mendalam tentang manusia dan alam. Manusia dan alam setiap saat pasti mengalami perubahan baik secara forma maupun materi. Karena itu, perubahan adalah keniscayaan. 

Hal yang sungguh terasa dari fenomena perubahan dewasa ini yakni munculnya teknologi baru yang dapat memudahkan pekerjaan manusia dan sekaligus juga menghambat pekerjaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah seharunya mengontruksi regulasi yang memperketat penggunaan artificial intelligence (AI) yang bertendensi merusak tatanan kehidupan manusia saat ini.

Regulasi yang dimaksudkan ialah pertama, membatasi para penggunaan AI dalam bidang tertentu sehingga masih ada peluang pekerja untuk bekerja seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastuktur. Kedua, pemerintah membuat regulasi yang bisa mengontrol informasi-informasi yang beredar di media sosial. 

Hal ini penting mengingat penyebaran Hoaks (berita bohong) massif dan sistematis di media sosial. Selain itu, untuk mengamankan data privasi masyarakat. Ketiga ialah memberikan sanksi kepada perusahan media sosial bila mereka gagal melawan kontens yang bertendesi menghina atau hoaks. 

Indonesia perlu belajar dari Jerman dalam hal memberikan sanksi kepada perusahan media sosial. Pemerintah Jerman berhasil memerangi fenomena hoaks dan ujaran kebencian di media sosial dengan menerapkan regulasi di atas.
Jadi, kehadiran AI saat ini bersifat paradoks. Di satu sisi membawa kemudahan bagi pekerjaan manusia tetapi di sisi lain menciptakan keresahan dan kepanikan. Namun, prubahan adalah suatu keniscayaan yang harus diterima karena itu merupakan bagian dari proses peradapan manusia. Maka, hal suka tidak suka harus dihadapi dengan memperketat regulasi yang dikonstruksikan oleh pemerintah agar AI sungguh bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia pada umumnya.

Jumat, 01 September 2023

KONSEP KEKUDUSAN MENURUT SURAT APOSTOLIK GAUDATE ET EXCULTATE PAUS FRANSISKUS

Oleh: Vayan Yanuarius

Diana adalah siswa kelas XI di salah satu Sekolah. Ketika saya masuk ruangan kelas Diana untuk mengajar materi Sejarah Gereja, saya diperhadapkan pada satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Diana. Pertanyaannya demikian, “Pak. Guru, saya punya teman setiap hari sering berdoa di Kapela, di ruangan adorasi, dan di depan gua Maria. Dia juga selalu memakai Rosario pada lehernya, baik pada saat kerja maupun pada saat olahraga. Di sekolah, teman-temannya menjulukinya sebagai “Tabernakel berjalan”. Tabernakel adalah tempat penyimpanan Sakramen Maha Kudus sehingga dia diasosiasikan dengan yang kudus. Apakah dengan mengenakan properti rohani tersebut dan kesetiaan pada hidup doa adalah jalan menuju kekudusan?

Pertanyaan di atas menjadi cikal bakal lahirnya diskusi dan perdebatan di kalangan siswa di dalam ruangan kelas itu. Sebagian besar siswa yang ada di dalam ruangan kelas menyetujui pendapat Diana yang mengatakan bahwa doa adalah jalan satu-satunya bagi seseorang untuk menjadi kudus. Namun, ada juga siswa mengatakan tidak, dengan pelbagai alasan yang rational. Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebagai guru saya mencoba memberikan jawaban dengan menggunakan satu perspektif yang dimabil dari Surat Apostolik Gaudate et Exultate tentang Kekudusan yang ditulis oleh Paus Fransiskus pada Tahun 2018.

Mengenal Surat Apostolik Gaudate et Exultate

Surat Apostolik Gaudate et Exultate (bersukacita dan bergembilah) merupakan seruan apostolik ke tiga Paus Fransiskus selama masa menjabat sebagai Paus setelah Evangelii Gaudium dan Amoris Laetitia. Surat Apostolik Gaudate et exultate terbit pada tangal 19 Maret 2018. Surat ini pada awal ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris dari Vatikan, kemudian diterjahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh R. P. T. Krispurwana Cahayadi, SJ dengan perbadingan bahasa Italia dan Perancis.

Menurut Paus Fransiskus, Surat Apostolik ini dibuat dengan maksud untuk menggemakan kembali panggilan menuju kekudusan, dengan mencoba untuk mewujudkannya pada masa kini, dengan segala risiko, tantangan, dan peluangnya (bdk. Surat Apostolik Gaudate et Exultate, hlm. 7). Jadi, Dia tidak sedang merumuskan defenisi, distingsi, dan analisis yang rigid cara-cara pengudusan. Namun, ia mencoba untuk menghidupkan kembali sebagian kecil dari konsep kekudusan yang “mengalami kematian”. Itu berarti Paus Fransiskus tidak mengubah pola defenisi apalagi menganalisis cara-cara pengudusan tetapi dia hanya sekedar merefleksikan kembali panggilan kekudusan yang sudah terpatri dalam sanubari setiap manusia.

Satu hal yang menarik dari surat Apostolik Gaudate et Exultate yang sangat relevan dengan pertanyaan yang diajukkan oleh Diana di atas yakni,
Untuk menjadi kudus tidak perlu menjadi seorang uskup, imam ataupun religius. Kita sering kali tergoda untuk memikirkan bahwa kekudusan hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang dapat menjaga jarak dari pekerjaan biasa sehari-hari dan mencurahkan waktu lebih banyak untuk berdoa. Bukan seperti itu. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari, di manapun kita berada.” (bdk. Gaudate et Exultate, hal. 12) .

Karena itu, bagaimana kita bisa menemukan jalan kekudusan itu? Apa saja yang perlu dilakukan untuk menjadi orang kudus? pertanyaan-pertanyaan di atas akan menghantar kita pada satu titik refleksi yang lebih dalam tentang jalan menuju kekudusan. 
Kekudusan: Keseimbangan antara Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Sosial

Menurut Tony Buzan sebagaimana yang dikutip oleh Frans Nala dalam artikelnya berjudul “Kecerdasan Sosial dan Intuisi Pastoral” (2012: 112) menjelaskan bahwa kecerdasan adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah dan mampu mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Defenisi ini menekankan individu (seseorang) sebagai subjek tunggal dalam menata lingkungan secara efektif dengan pola pikir dan tindakan yang baik dan benar. Kecerdasan ini menjadi penting lantaran manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya dia membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Kehadiran “yang lain” menjadi alasan fundamental bagi seseorang untuk mengasah kecerdasannya. 
Kecerdasan Spiritual dan Sosial, Apa itu?

Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk membangun hubungan dengan Tuhan Sang Pencipta. Pola relasi antara manusia dengan Tuhan bersifat vertikal. Pola relasi dan komunikasi antara manusia dan Tuhan bisa dalam bentuk doa, refleksi kitab suci, dan juga merawat alam ciptaan lainnya. Dalam Gereja Katolik, membangun relasi yang intim dengan Tuhan niscaya akan memperoleh kebahagiaan dan keselamatan.

Sedangkan kecerdasan sosial berhubungan dengan pola relasi seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Orang yang memiliki kecerdasan sosial pasti diterima di tengah lingkungan masyarakatnya. Kecerdasan sosial bukan sekedar ada bersama dalam satu kelompok tetapi lebih dari pada itu dapat memberikan makna atau sesuatu yang positif bagi orang lain. Dengan demikian, kecerdasan spiritual dan sosial tidak dapat dipisahkan dalam ziarah hidup manusia untuk mencapai kekudusan.

Menyadari panggilan kekudusan sangat urgen bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus maka Paus memberikan rekomendasi tentang jalan menuju kekudusan yang sejati. Menurut Paus Fransiskus kekudusan seseorang tidak terletak pada seberapa banyak waktu yang digunakan seseorang untuk berdoa, seberapa megah atribut kerohanian yang melekat dalam tubuh seseorang seperti jubah atau Rosario, gambar-gambar kudus yang dipanjangkan dimana-mana dan selalu dibawa kemana-mana. Namun, yang dimaksud dengan kekudusan oleh Paus Fransiskus terletak pada keseimbangan antara kecerdasan spiritual (hidup doa) dan kecerdasan sosial. Dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Keduanya bisa diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang selalu melekat erat.
 
Berdasarkan perjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekudusan bukan sekedar mengasah aspek spiritual melalui hidup doa tetapi juga mengasah aspek sosial. Jadi, kekudusan bukan terletak pada kesunyian sendiri dan menjaga jarak dengan orang lain. Juga bukan sekedar mencintai Tuhan Allah dan mengabaikan sesama. Kekudusan sejati terletak pada relasi sosial yang harmonis dan akur atas dasar spirit Roh Kudus. Itu berarti kekudusan mesti mendarat sampai pada tindakan nyata seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

Sta. Teresia dari Kalkuta (1910-1997) misalnya menjadi orang kudus dalam gereja Katolik karena spirit pelayanannya kepada orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat. Dia seorang biarawati dari kongregasi Missionaris of Charity. Sebagai seorang biarawati, tentunya dia menekuni hidup doa. Namun, kehidupan doa tidak sekedar ada bersama dengan Tuhan di dalam rumah ibadat atau di depan patung kudus di dalam biara tetapi dia masuk ke dalam realita kehidupan sesamanya dalam masyarakat. Dia keluar dari kesunyian biara untuk ada bersama orang yang sedang menderita.

Secara konkret Paus Fransiskus menjelaskan kekudusan terletak pada orang tua yang selalu setia dan sabar dalam membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Kekudusan juga terletak pada suami istri yang berjuang untuk menafkahi keluarganya. Kekudusan juga terletak pada diri pelajar yang selalu berjuang untuk meraih masa depan dan membalas pengorbanan orang tua. Kekudusan terletak pada orang yang memberi sedekah kepada orang yang membutuhkannya. Kekudusan terletak pada sikap seseorang menghidari diri dari kehidupan sosial yang bersifat destruktif dan kriminalis. Jadi, kekudusan bukan sekedar mendekatkan diri pada Tuhan Allah dan menjaga jarak dengan sesama.

Jalan Inspirasi Menuju Kekudusan

Kisah orang Samaria yang baik hati dalam Kitab Suci hemat penulis bisa dijadikan sebagai jalan inspirasi menuju kekudusan dalam hidup manusia. Kisah orang Samaria yang baik, secara gamlang mengambarkan bagaimana kekudusan itu terletak bukan hanya pada orang-orang yang berjubah rohani, yang selalu menghafal kitab suci dari ayat ke ayat, dan berpakaian kemegahan yang melambangkan kekuasaan dan kerhormatan tetapi kekudusan juga terletak pada diri orang-orang disingkirkan dan distigma berdosa namun mempunyai hati untuk membantu sesama yang mengalami musibah dan menderita.

Kisah itu menceritakan ada seseorang yang turun dari Yeriko ke Yerusalem untuk mengikuti upacara agama. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, tiba-tiba ada orang yang menghampirinya dan merampoknya sekaligus memukulnya sampai ia jatuh terkapar tak berdaya. Tubuhnya tergelatak di pinggir jalan. Dalam keadaan darurat itu, datanglah seorang imam yang sedang mengenakan jubah putih. Ia melihat korban itu penuh dengan darah. Namun, dia tidak menolongnya dan menghindar dari kenyataan itu.
  
Setelah dia pergi, datanglah orang Samaria. Orang Samaria pada waktu itu dicap sebagai orang berdosa karena sikap mereka yang tidak taat pada Allah. Namun, ketika orang Samaria itu melihat korban di pinggir jalan, hatinya menaruh belaskasihan untuk menolongnya. Dia mengangkat korban itu dan menghantarnya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan serius. Singkat cerita, akhirnya korban itu sembuh kembali.
Dari kisah di atas, penulis mengamini penyataan Paus Fransiskus tentang kekudusan. Namun, bukan berarti penulis merekomendasikan bahwa hidup doa itu tidak penting. Yang perlu dilakukan untuk mencapai kekudusan ialah menghayati spiritualitas Yesus Kristus secara proposional baik melalui doa maupun tindakan nyata. Sangatlah mustahir bagi penulis apabila ada orang yang mengatakan bahwa “aku mencintai Tuhan Allahku dengan sepenuh hati dan dengan segenap jiwa dan raga, tetapi pada saat yang sama dia sedang membenci orang lain di sekitarnya.”

Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2013:75) menjelaskan tentang pribadi manusia sebagai Imago Dei (gambar atau rupa Allah) (bdk. Kej 1:27). Sebagai gambar Allah, manusia memiliki keserupaan dengan Allah sebagai Pencipta. Kehadiaran manusia di dunia ini merepresentasikan kehadiaran Allah itu sendiri. Itu berarti keberagaman manusia di dunia ini mengambarkan wajah Allah itu sendiri. Dengan demikian, melukai orang lain sama artinya melukai Allah itu sendiri. Mencintai sesama sama arti mencintai Allah sendiri. Karena itu, kekudusan bukan hanya terletak pada sikap kita untuk mencintai Tuhan dan mengabaikan orang lain tetapi kekudusan itu terletak pada bagaimana kita menerjemahkan keyakinan kita kepada Allah dengan membangun hidup sosial yang baik di tengah dunia ini. Allah selalu ada dalam diri ciptaannya. Kehadirannya secara kasat mata dalam bentuk ciptaan yang kita jumpai setiap saat.

Jadi, kekudusan seseorang tidak terletak pada cara hidup seseorang yang meluluh mendekatkan diri pada Tuhan tetapi lebih daripada itu kekudusan mesti dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengasah kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain. Tuhan Allah yang kita Imani sudah menampakkan dirinya pada semua ciptaan yang ada di bumi ini. Karena itu, tugas kita ialah merawat hubungan yang harmonis dengan Tuhan Allah dengan cara berdamai dengan sesama dan alam ciptaan yang ada di sekitar kita.

Sabtu, 29 Juli 2023

Retrospeksi dan Prospektif Pemikiran Descartes Tentang Kebenaran

Oleh: Vayan Yanuarius

Rene Descartes dikenal sebagai pelopor pemikiran abad pencerahan (age of enlightenment). Sejarah mencacat bahwa Descartes sebagai filsuf awal mula yang menandakan dimulainya abad pencerahan. Berdasarkan subjektivitas seorang manusia, pemikiran Descartes bertolak dari akal budi dan bermuara pada sumber pengetahuan yang berdasarkan pada rasio. Pada titik inilah Descartes dijuluki sebagai Bapak Filsafat Modern.

Restropeksi Filsafat Rene Descartes

 Dalan beberapa literature yang membicarakan tentang filsuf Rene Descartes, paling kurang filsafat Descartes bermula dari sikapnya yang meragukan segala sesuatu. 

Ketika Descartes pertama kali belajar ilmu pengerahuan di sekolah College Royal de La Fleche yang dikelolah oleh para imam Yusuit, ia meragukan apa yang telah diajarkan oleh para gurunya. Ia merasakan bahwa pengetahuan yang didapati dari gurunya itu belum memberikan suatu kebenaran yang pasti atau belum memiliki fondasi yang kuat. Apalagi pada masa itu setiap teori dan pendapat selalu dibantah atau dikritik oleh para pemikir lainnya. Perdebatan tidak habis-habis mengenai tema yang sama juga terjadi di dalam lingkaran filsafat. 

Akhirnya Descartes memilih untuk berpetualangan mencari kebenaran dalam buku besar alam raya. Dari pengalaman menjadi tentara, bertemu dengan orang banyak dan hidup yang nomaden sampai ia menemukan apa yang disebut pengetahuan yang dapat diragukan baginya. 

Di sinilah awal mula filsafat di mana ia melakukan sebuah keraguan. Keraguan yang dibawahkan oleh Descartes akan menjadi tujuan filsafatnya. Dengan keraguan tersebut, Descartes ingin membangun sebuah sistem filsafat dengan beralaskan kapastian, sehingga tidak dapat diragukan lagi dan menjadi absolute.

Karena itu sangat jelas bahwa alasan Descartes mencari kebenaran dengan metode filsafatnya adalah menghilangkan kebingungan yang tercipta dalam perdebatan-perdebatan yang terjadi yang menurutnya belum memiliki kejelasan yang pasti. Kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan pada masa itu belum jelas karena masih dipengaruhi Gereja oleh filsafat skolastik. Filsafat skolastik pada zaman itu menghabat perkembangan ilmu pengetahuan karena konstruksi pemikirannya sangat dipengaruhi oleh khayalan-khayalan. 

Hemat saya keberanian Descartes untuk melawan filsafat skolatik merupakan kritikan terhadap gaya filsafat pada masa lampau. Menurut Descartes bahwa filsafat harus bersikap radikal, dalam arti tidak boleh bertolak dari pengandaian-pengandaian apapun. Apa yang diajarkannya harus dapat dipertanggung-jawabkannya. Dan inilah yang mendorong Descartes membebaskan diri atau dalam bahasa Plato “keluar dari gua” pemikiran tradisional. 

Menurut Descartes, untuk mendapatkan suatu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingnya serta harus disusun oleh satu orang sebagai suatu bangunan yang seluruhnya berdiri sendiri menurut satu metode umum. Dalam konteks filsafat, hal yang perlu dibangun dengan dasar yang kokoh ialah membuat diri meragukan segala suatu yang mungkin dapat diragukan. Namun, perjalan ini cukup menyita waktu yang panjang, ia mengatur prilaku sesuai dengan aturan-aturan yang diterima oleh masyarakat umum.
 
Namun, kontruksi pemikiran filsafat Descartes tidak berhenti pada titik keraguan yang radikal. Descartes mencoba membentuk sebuah sistem filsafat yang bebas dari keraguan. Salah satu buku yang cukup popular berjudul Discourse on the Method dan Rules for the Direction of the Mind yang menekankan pada metode. 

Menurut Descartes penerapan metode ini membantu membedakan kekeliruan, kepastiaan dan kebenaran. Singkatnya metode ini dapat menghasilkan pengetahuan yang kebenarannya sangat pasti dan tidak dapat diragukan lagi. 

Descartes mengajukan empat langkah berpikir untuk mendukung metodenya dalam mencari kebenaran. (1) tidak pernah menerima sesuatu sebagai yang benar. Jika saya tidak memiliki pengetahuan yang jelas menurut Descartes sebaiknya menghindari dari kesimpulan-kesimpulan dan prasangka-prasangka tersembunyi sehingga tidak ada peluang bagi saya atau orang lain meragukannya. (2) membagi suatu persoalan ke dalam permasalahan-permasalahan yang lebih kecil dan detail. (3) memulai dari yang paling sederhana dan mudah dimengerti. Mengarah pikiran secara tertib dan teratur, dengan bertolak dari yang paling sederhana dan objek yang paling mudah diketahui sehingga sedikit demi sedikit menuju pengetahuan yang lebih kompleks. (4) selalu melakukan pencacahan sedemikian lengkap dan pemeriksaan ulang sedemikian komprehensif, sehingga dapat memastikan bahwa sama sekali tidak ada yang terabaikan.

Prospektif Pemikiran Descartes 

Ternyata pemikiran Descartes memiliki pengaruh yang besar terhadap filsuf pasca Descartes. Misalnya pengaruh terhadap filsafat Baruch Spinoza. Spinoza adalah salah satu filsuf yang bergabung dalam lingkaran rasionalisme. Ia mengagumi sebagian dari filsafat Descartes, tidak sepunuhnya. Namun, corak berpikir filsafatnya cukup mendalam dan lebih konsekuen dibandingkan dengan rasionalisme Descartes. 

Ada beberapa konsep berpikir Descartes yang dikritik oleh Spinoza. misalnya, soal substansi. Menurut Descartes substansi adalah apa yang telah ada sedemikian, sehingga sesuatu tersebut tidak dapat lagi memerlukan atau bergantung dengan hal lain. Substansi yang paling dasar adalah Tuhan, yang tidak memerlukan hal lain untuk berada. 

Karena itu, Descartes mengelompokkan substansi yang ada di dalam dunia menjadi tiga yakni Tuhan, Jiwa dan materi. Konsep ini mendapat tanggapan dari Spinoza dengan berargumen bahwa Tuhan adalah suatu kesatuan umum, yang mengungkapkan diri di dalam dunia. Segala yang ada adalah Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang tidak tercakup di dalam Tuhan dan tidak ada sesuatu pun dapat berada tanpa Tuhan.  

Tidak berhenti pada Spinoza, filsafat kritis Emmanuel Kant juga turut mengambil bagian dalam membaca pemikiran Descartes dan kaum rasionalisme lainnya. Menurut Kant, rasionalisme yang diagungkan oleh Descartes sampai Spinoza hanya mempersoalkan masalah pengenalan atau proses untuk mengetahui pada sisi objek yang ingin diketahui saja, tidak mempersoalkan subjek rasio. Karena itu, menurut Kant, filsafat Descartes dan golongan rasionalisme lainnya adalah filsafat dogmatis.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa corak filsfat Descartes memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan filsafat selanjutnya. Dialektika yang dibangun membentuk tembok peradaban filsafat semakin kokoh. Konstruksi dialektika ini akan terus berlanjut dan ini sebenarnya suatu metode pencarian akan suatu kebenaran yang pasti.

Catatan kaki:
Cahaya Khaeroni, “Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Islam” dalam Didaktika Religia, Volume 2, No. 2 Tahun 2014, hlm. 187.

Aquido Adri dan Syaiful Hadi, Descartes, Spinoza dan Berkeley (Yogyakarta: Penerbit Sociality, 2017), hlm. 81.

Selasa, 20 Juni 2023

Gereja Dalam Pusaran Arus Zaman

Oleh: Andra Geraldo (Siswa kelas X SMAK Seminari Labuan Bajo)

Kondisi gereja saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dapat dilihat dari semangat umat begitu kecil dalam mengikuti berbagai kegiatan gereja seperti jarang mengikuti perayaan ekaristi, aktif dalam kegiatan doa, rekoleksi, bakti sosial dalam lingkungan gereja dan lain sebagainya. 
Situasi dan kondisi seperti ini yang bisa menghambat gereja berkembang. Gereja tidak akan bisa berkembang dengan sendirinya. Karena itu, gereja membutuhkan keterlibatan orang-orang beriman kepada Yesus Kristus.
 
Gereja yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan bangunan fisik yang megah dan menaranya menjulang tinggi tetapi orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat manusia. Hal ini bisa dilihat dalam Kitab Suci yang menceritakan tentang para murid yang berkumpul bersama sambil berdoa kepada Tuhan Allah mereka. Di sinilah cikal bakal lahir Gereja.

Salah satu hal yang mempengaruhi minimnya semangat umat dalam hidup menggereja ialah perkembangan dunia saat ini. Dunia semakin berkembang tetapi kesadaran manusia semakin berkurang. 

Seperti yang kita ketahui bersama perkembangan dunia saat ini sangat baik. Namun, perlu kita ketahui juga bahwa dengan berkembangnya dunia, maka akan muncul berbagai hal, baik itu positif maupun negatif.

Dengan melihat sisi positif dari perkembangan dunia saat ini dapat mempermudah komunikasi dengan menggunakan alat teknologi dan munculnya berbagai sarana transportasi yang memudahkan masyarakat dalam beraktivitas. 

Dengan menggunakan berbagai sarana tersebut manusia dapat hidup dengan baik. Aktivitas manusia lebih efektif dan efisien. Orang tidak lagi membutuh waktu yang lama untuk membagi informasi. Dalam sekejap mata ketika jari menari di atas papan keyboard, informasi itu tersebar luas. Dengan demikian, orang selalu mengatakan perkembangan teknologi dan informasi saat ini dapat membentuk kampung global (global Village). 

Tetapi perlu kita ketahui juga bahwa perkembangan dunia saat ini tidak hanya memberikan hal positif saja, tetapi juga membawa dampak negatif bagi setiap orang. Salah satunya bagi Gereja Katolik. 
Gereja Katolik saat ini dihadapkan dengan berbagai persoalan bukan hanya tentang minimnya semangat umat, tetapi juga dengan munculnya berbagai aliran sesat. 

Hal ini dipengaruhi oleh tuntutan dunia yang semakin besar, orang banyak lebih memilih hal yang praktis dan tidak mau melakukan sesuatu yang memerlukan perjuangan.

Dengan munculnya berbagai godaan-godaan duniawi yang membuat banyak orang terbawa oleh arus zaman dan menganggap bahwa hidup hanya uang, uang dan uang. 

Dengan hal itu mereka mengorbankan waktu untuk melayani Tuhan dengan bekerja dan dengan kata lain mereka hidup hanya dengan uang dan mengesampingkan Tuhan. Mereka melakukan segalanya untuk menyenangkan diri sendiri dan melupakan tugas mereka sebagai anak-anak Allah.
Kita hidup bukan hanya untuk bekerja saja, tetapi juga berdoa begitu pun sebaliknya. Berdoa dan bekerja harus berjalan secara bersamaan. Kita tidak dapat hidup tanpa bekerja dan kita juga tidak dapat hidup tanpa Tuhan.

Selain itu banyak umat Katolik yang menganggap bahwa hari minggu adalah hari libur dan tidak ada kegiatan yang mesti dilakukan, padahal hari minggu adalah hari Tuhan. Hal inilah yang membuat banyak orang tidak menghadiri perayaan Ekaristi pada hari minggu.

Hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah meningkatkan semangat umat dalam menggereja lebih khusus anak-anak dan kaum muda, karena merekalah masa depan Gereja. 

Dengan cara apa kita meningkatkannya? Tentunya dengan mengikuti berbagai kegiatan dan organisasi Gereja seperti, Sekami, OMK, dan kelompok-kelompok doa.
Dengan meningkatnya organisasi-organisasi Gereja, maka dengan itu semangat umat dalam menggereja semakin tinggi. 

Hal itu juga akan berjalan dengan baik apa bila semua umat Katolik mempunyai kesadaran untuk mampu memilah dan memilih mana hal yang baik bagi diri sendiri dan bagi Gereja dengan kata lain kita harus mempunyai daya filter yang baik agar mampu melihat dan membaca mana hal yang baik bagi Gereja di tengah perkembangan dunia saat ini.
          “CATHOLIC FOREVER “
                     

Minggu, 04 Juni 2023

Pancasila sebagai Pandangan Hidup


Oleh: Brayen Sukardi (Siswa KPB Seminari Labuan Bajo)

Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia bisa dilihat sebagai pandangan hidu berbangsa dan bernegara. Sebagai pandangan hidup, pancasila dapat mewujudkan nilai-nilai yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, pancasila adalah pedomaan umum bagi setiap warga Negara Indonesia dalam membangun kehidupan sosial yang adil, makmur, dan beradap. Pancisala juga bisa menjadi patokan untuk mengukur tingkah laku seseorang dalam kehidupan sosial masyarakat. Artinya, pancasila dapat mengatur perilaku seseorang sesuai nilai-nilai yang terkadung dalam pacasila itu sendiri. Nilai-nilai ialah ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kemasyarakatan (demokratis atau musawarah), dan keadilan sosial. Karena itu, pancasila adalah suatu ideologi yang final. 

Dengan merujuk pada uraian di atas, maka jelas bahwa arti dan peranan pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara tidak bisa tergantikan. Pancasila yang sifatnya tidak bisa tergantikan itu mesti menjiwai seluruh kehidupan masyarakat Indonesia baik dari lapisan masyarakat yang paling bawah maupun para pejabat Negara atau pemerintah. 

Kalau kita memperhatikan perkembangan sejarah bangsa Indonesia, dapat kita sadari bahwa pancasila  mengandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Nilai itu kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Misalnya sikap percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sejak dahulu sduah memilik kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, hanya wujudnya berbeda. Lalu sikap menjujung tinggi persatuan. Sejak kita hidup dalam kelompok suku, ras, agama, atau kelompok lainnya persatuan itu sudah mulai bertumbuh dan mulai berkembang walaupun kadang ada tantangan dalam persatuan yang muncul dari luar atau dari dalam. Misalnya, ketika Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Masyarakat Indonesia mengalami perpecahan demi menyelamatkan diri dari gerakan kolonialisme Belanda. Setelah mengalami kemerdekaan, Indonesia mencoba untuk memulihkan perpecahan itu dengan persatuan.

Menghayati Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan sehati-hari; 

Pertama, sila pertama pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan yang Maha Esa.” 

Sila Ketuhanan yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa kita bangsa Indonesia memiliki kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa itu bersifat aktif. Artinya kita harus selalu menjalankan segala perintah Tuhan dan mencoba untuk menghidari diri dari larangan-larangan-Nya. 

Selain itu, Ketuhanan yang Maha Esa juga bermaksud untuk menciptakan toleransi antaragama di Indonesia sehingga tidak ada agama atau kepercayaan yang lebih mendomanasi ruang public dan merasa diri menjadi agama yang superior. Dengan demikian, nilai luhur dari sila pertama ialah menjaga kehidupan beragama di Indonesia dengan rukun dan damai.

Kedua, Sila kedua pancasila berbunyi demikian, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradap.” 

Konsep dasar sila kedua pancasila ialah bagaimana masyarakat dan pemerintah yang memegang tongkat kekuasaan berjuang untuk menciptakan manusia yang bersikap adil bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga harus beradap. 

Dengan demikiam, seluruh kebijakan dan program kerja pemerintah harus betul-betul berorientasi pada kemanusiaan. Kemanusiaan yang dimaksudkan ialah soal terciptanya masyarakat yang adil dan beradap. Korupsi misalnya adalah suatu tindakan yang mencerminkan ketidakadilan. Kekayaan Negara yang bersumber dari rakyat dicuri untuk kepentingan sendiri. 

Ketiga, Sila ketiga pancasila yang berbunyi demikian, “Persatuan Indonesia.” 

Makna dari persatuan Indonesia ini ialah bagaimana masyarakat Indonesia yang begitu plural baik dari segi agama, ideology, ras, suku, dan etnis harus bisa membangun satu kesatuan yang integral dan solid. Perbedaan bukan menjadi persoalan bangsa tetapi perbedaan adalah kekuatan untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih baik melalui cara hidup, cara kerja, dan cara pandang kita masing-masing. 

Karena itu, cara hidup masyarakat Indonesia mestinya mencerminkan persatuan. Persatuan itu dapat diwujudkan melalui dialog kebangsaan untuk menemukan titik temu yang cocok dalam menjawabi tantangan global. Dalam proses dialog itu, setiap orang mesti terbuka untuk menerima masukan atau kritikan dari pihak lain, juga mengevaluasi segala kebijakan atau program yang sedah berlangsung atau yang sedang berjalan. 

Keempat, Sila keempat pancasila yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat bejikasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” 

Sila keempat ini menekankan aspek kerakyatan dan musyawarah. Bahwa untuk menjadi pemimpin satu bangsa, kita harus melihatkan rakyat. Kedaulatan itu ada di tangan rakyat bukan ada di tanga pemimpin. Pemimpin dipilih untuk mewujudkan kedaulatan rakyat itu sendiri. 

Dalam proses memilih pemimpin suatu Negara mesti melalui jalur musyawarah atau sering disebut demokrasi. Demokrasi artinya rakyat yang memimpin. Karena rakyat adalah pemilik kekuasaan maka dalam proses pemilihan pemimpin harus melihatkan rakyat itu sendiri. Rakyat harus mengambil peran sentral dalam mewujudkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas serta berjuang untuk kepentingan masyarakat umum.

Kelima, Sila kelima pancasila yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

 Sila kelima ini menegaskan bahwa setiap warga Negara Indonesia arus mendapatkan perlakukan yang sama baik di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Misalnya dalam bidang hokum. Warga Indonesia-siapa pun itu, ketika berbuat suatu kejahatan mesti diperlakukan sesuai dengan aturan hukum. 

Fakta yang terjadi di Indoensia selama ini ialah proses hukum bagi warga Negara cenderung tidak adil dan diskriminasi. Warga masyarakat yang miskin ketika berbuat kejahatan diproses secara hukum. Namun, ketika pejabat Negara yang melakukan kejatahan tidak diproses secara hukum. Atau diproses secara hokum tetapi hukuman tidak terlalu berat. Hal ini terjadi karena para pejabatan Negara yang melakukan kejahatan sudah membeli pasal undang yang terkadung salam lembaga hukum. 

Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila di atas ingin menegaskan bahwa pancasila adalah pedomaan atau SOP kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur seudah diuji dari tahun ke tahun sehingga tidak perlu diperdebatkan soal relevansi nilai-nilai pancasila dalam perkembangan bangsa dan Negara dewasa ini.  

Rabu, 31 Mei 2023

Politik Patronase dalam Perekrutan THL di Kabupaten Manggarai

Oleh: Vayan Yanuarius, Anggota Kelompok Minat Centro John Paul II Ritapiret

Pada 22 Februari 2022, Floresa.co menurunkan laporan tentang perekrutan Tenaga Harian Lepas (THL) di Kabupaten Manggarai, NTT yang disebut dilakukan secara diam-diam. Disebutkan juga bahwa dari sekitar 100 THL yang menyebar di sejumlah dinas itu, mereka adalah kerabat dekat pejabat, termasuk anak kandung wakil bupati dan anggota tim sukses saat Pilkada 2020.
Ironinya, perekrutan itu terjadi ketika pemerintah pusat sudah mengagendakan penghapusan tenaga honorer di instansi pemerintah pada 2023, sehingga ada larangan untuk perekrutan baru. Larangan itu tertuang dalam Pasal 8 PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan, ketentuan penghapusan tenaga honorer termaktub dalam Pasal 96 PP No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mengapa pemerintah kemudian tetap melakukan perekrutan THL baru itu? Praktik seperti ini sejatinya bukanlah kasus tunggal, hanya terjadi di Manggarai, tetapi juga sudah terjadi di mana-mana, yang dalam ranah ilmu politik dikenal sebagai praktik politik patronase. Ilmuwan politik seperti Aspinnal & Berenschot dalam buku yang berjudul Democracy for Sale: Election, Clientelism, and the State in Indonesia (2019) mendefinisikan politik patronase sebagai praktik pembagian keuntungan atau sumber daya negara kepada masyarakat, baik berupa barang material, proyek maupun posisi atau jabatan pemerintahan sebagai bentuk balas budi kepada masyarakat karena telah berupaya memenangkan mereka dalam kontestasi elektoral. Dalam studi politik dan demokrasi, patronase politik ini merupakan gejala anti-demokrasi, sebab berpotensi membatalkan hubungan berbasis aspirasi atau asosiasi kepentingan antara warga negara dengan pemerintah.
Politik patronase memiliki varian bentuk. Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (2014) mengkategorikannya ke dalam empat bentuk, yakni vote buying (pembelian suara), individual gifts (pemberian-pemberian pribadi), services and activities (pelayanan dan aktivitas), dan club goods (barang-barang kelompok).
Model perekrutan THL di Kabupaten Manggarai, di mana pemimpin (patron) sedang membagi-bagi jatah sumber daya negara (jabatan) kepada para pendukungnya (klien) inilah yang saya golongkan sebagai praktik patronase politik.
Di Manggarai, praktik ini beroperasi dalam dua model. Pertama, pemimpin memberi jatah kekuasaan kepada para broker/tim sukses yang telah bekerja mengerahkan sumber daya berupa dukungan finansial, sarana-prasarana untuk kesuksesan sang pemimpin saat pemilihan.
Kedua, pemberian jatah pekerjaan kepada keluarga atau kerabat dekat sang pemimpin. Dalam konteks kasus di Manggarai, sejauh amatan penulis, praktik patronase ini sering kali berdampingan dengan praktik politik dinasti, di mana penguasa berupaya meletakan keluarga, saudara dan kerabatnya pada jabatan-jabatan starategis.
Praktik seperti ini tentu saja merupakan penyakit kronis dalam tubuh demokrasi kita, yang makin memperlambat bahkan menarik kembali ke belakang proses demokratisasi kita di tingkat lokal. Praktikn ini setidaknya akan memmuncul dua dampak sistemik.
Pertama, kinerja birokrasi sebagai mesin utama pelayanan publik akan semakin buruk. Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tersandera oleh relasi patron-klien, seorang pemimpin politik akan cenderung menyediakan lebih banyak pekerjaan kepada para pendukung, tanpa mempertimbangkan berbagai prosedur administrasi, aturan hukum serta pelaksanaan tugas. Kesetiaan politik klienlah yang lebih diutamakan ketimbang kompetensi serta hak-hak serta kebutuhan warga negara. Misalnya, THL dengan latar belakang guru diangkat menjadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), hanya karena ia tim sukses.
Kedua, membuka peluang yang besar bagi bertumbuh suburnya praktik korupsi berlapis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada lapisan pertama, pemimpin politik, dalam hal ini bupati/wakil bupati sepenuhnya akan memanfaatkan kekuasaan untuk menjaga dukungan lingkaran klien yang telah ditarik masuk ke dalam birokrasi melalui bagi-bagi jatah proyek dan sebagainya. Sementara pada lapisan kedua, sang klien yang telah menempati posisi/jabatan tertentu akan dengan segala cara menerabas regulasi, mengkapling sumber-sumber daya milik negara untuk tetap merawat kepentingan masyarakat pendukung (gerombolan klien) agar tetap memberikan dukungan pada ajang elektoral berikut. Upaya untuk tetap merawat relasi saling menguntungkan ini menjadi lahan subur praktik korupsi.
Wajah demokrasi seperti ini tentu saja membutuhkan tanggung jawab kita semua. Saya menawarkan beberapa tawaran alternatif pikiran.
Pertama, optimalisasi peran partai politik sebagai elemen penting demokratisasi. Selama ini, partai politik kita, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, semata hanya menjalankan fungsi sebagai kendaraan politik menuju kekuasaan. Sementara fungsi sebagai bagian penting dari spirit politik kewargaan nyaris tak muncul. Bersamaan dengan itu para politisi lebih banyak terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Ketiadaan peran kritis macam ini, membuat proses elektoral kita rentan dibajak praktik-praktik yang anti-demokrasi seperti praktik patronase politik.
Kedua, perlunya ketaatan pada aturan-aturan hukum sebagai langkah penting memperkuat proses demokratisasi. Dalam konteks perekrutan THL, pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang soal pentingnya regulasi di tingkat daerah yang mengedepankan prinsip-prinsip profesionalitas, kompetensi, keahlian dan kinerja sebagai prasyarat penting yang membentuk habitus kerja birokrasi.
Ketiga, dalam skala yang lebih luas, perlu adanya kontrol sosial dari masyarakat terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan kita. Masyarakat harus berpartisipasi dalam politik bukan hanya pada saat kontestasi politik saja, tetapi sepanjang pemerintahan itu berjalan. Hal ini bermaksud agar pemerintah tidak sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang.

Catatan: Tulisan ini sudah diterbitkan di media online floresa.com pada tahun 2022. 

Pendidikan Sebagai Upaya Pengentasan Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur

Oleh: Yuziro Losong (Siswa KPB Seminari Labuan Bajo)

Kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasariah seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, dan pendidikan yang layak. Menurut Soerjono Soekanto, ahli Sosiologi Hukum, kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Maka secara umum, kemiskinan adalah suatu kondisi individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena tidak adanya pemanfaatan tenaga, mental atau fisiknya secara maksimal.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Hal ini bukan lagi suatu problematika yang baru terjadi di kalangan masyarakat NTT. Menurut Badan Pusat Statistika (BPS) NTT, rasio kemiskinan penduduk NTT per 30 Januari 2023 mengalami peningkatan sebanyak 2,9 ribu orang. Pada tahun 2022 jumlah penduduk miskin sebanyak 15,7 juta orang dan mengalami pembengkakan dengan jumlah 18,7 juta orang. Ini menunjukkan betapa rendahnya pertumbuhan ekonomi masing-masing rumah tangga di NTT. 
Akibatnya, hidup miskin menjadi suatu hal lumrah untuk dijalani. Padahal keadaan miskin inilah yang memenjarakan mereka untuk tinggal dalam zona hidup berkekurangan.
Hidup miskin telah menjadi takdir bagi kami. Kami telah sekuat tenaga menggarap sawah, membuka ladang untuk bercocok tanam, dan mencari ikan di laut. Tetapi hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kami. Biarlah kami menunggu sumbangan dari pemerintah dan Tuhan pasti menolong kami. begitulah rintihan-rintihan minor dari kalangan masyarakat NTT.

Menurut penulis faktor penyebab terjadinya kemiskinan di NTT adalah rendahnya kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah belum maksimal menjadi lembaga pendidikan yang mampu menciptakan generasi baru (new generation) yang produktif, kreatif dan inovatif. 

Pendidikan memiliki peran sangat penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat NTT. Salah satunya ialah untuk meminimalisir tingkat kemiskinan. Pendidikan menjadi garda terdepan untuk mencetak generasi perubuhan di masa yang depan. Pendidikan adalah locus pembentukan karakter generasi bangsa untuk mempu beradaptasi dan bersaing.

Pendidikan adalah sarana bagi seseorang untuk bisa mengubah hidupnya ke arah yang lebih baik.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di NTT, beberapa hal ini perlu untuk diperhatikan secara serius.
Pertama, perlu adanya peningkatan pendistribusian bantuan fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah oleh pemerintah dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tujuan ialah agar terpenuhinya fasilitas sekolah yang memadai. 
Kedua, mengadakan program beasiswa kepada siswa kurang mampu. Semua upaya ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Provinsi NTT. 

Upaya peningkatan kualitas pendidikan di NTT berdampak pada pengentasan kemiskinan. Hal ini bisa terjadi karena dengan kualitas pendidikan yang tinggi para siswa mampu berbikir tentang upaya alternatif dalam menghadapi gejok dunia yang kurang pasti. Apalagi, di tahun-tahun yang akan datang akan terjadi resesi ekonomi yang besar. Pengembangan sektor pendidikan merupakan upaya untuk mendidik generasi yang siap menerima tantangan dunia dan siap untuk bekerja. Itulah tujuan luhur dari pendidikan yaitu menambah wawasan, meningkatkan daya kreativitas, mempertajam nalar kritis dan memberi pelajaran moral bagi seluruh masyarakat.

Pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan, pengetahuan seseorang akan bertambah dan akan sangat bermanfaat untuk mempelajari cara pemanfaatan sumber daya alam di sekitarnya. Bukan suatu yang mustahil, kemajuan zaman yang ditandai kemajuan teknologi yang cangih menuntut para pekerjaan yang berpendidikan kreatif serta mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang baik.

Provinsi NTT memliki kekayaan alam yang begitu besar. Kekayaan itu ada di sektor kelautan, pariwisata, dan pertanian. Kekayaan ini jika dikelolah dengan baik niscaya akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi masyarakat NTT. Masyarakat tidak lagi dikekang oleh badai kemiskinan yang berkepanjangan tetapi mampu menghirup udara kesejahteraan yang segar.

Kemiskinan harus diberantas secara total. Dengan adanya pendidikan kita mampu merombak cara berpikir dan tingkah laku yang keliru dan salah. Sumber daya alam di daerah NTT tercinta amat berlimpah. Sekarang tugas kita adalah bagaimana kita melahirkan kreasi dan inovasi cerdas untuk memanfaatkan sumber daya tersebut.

Mari kita berjalan bersama memberantas kemiskinan dengan kecerdasan berpikir dan bekerja. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, maka semakin banyak pula inovasi pemberdayaan hasil pertanian yang dilakukan. Semua itu akan berdampak pada pendapatan seluruh masyarakat. Dan akhirnya pendidikan akan berhasil menjadi penyelamat rintihan-rintihan minor kaum papa.










 

Selasa, 30 Mei 2023

CATATAN DARI SEORANG GURU BAHASA INDONESIA (REFLEKSI PENGALAMAN MENJADI GURU SELAMA SATU TAHUN)

foto: Siswa KPB Seminari Labuan Bajo sedang belajar

Oleh: Vayan Yanuarius
(Guru Bahasa Indonesia di Seminari Labuan Bajo)

Saya mendapat kepercayaan oleh pimpinan lembaga Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo untuk mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Persiapan Bawa (KPB) Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo (SEMYOPAL II) selama satu tahun 2022-2023. Saya merasa senang bercampur cemas menerima kepercayaan ini. Dua perasaan ini saya gumuli dalam kehidupan saya kira-kira satu minggu. Perasaan senang saya cukup beralasan sebab saya menjadi pendidik yang bertugas mendidik perserta didik agar menjadi orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang komprehensif. Namun, dibalik itu ada perasaan cemas. Kecemasan saya terletak pada keterampilan atau kemampuan saya mentransformasi pengetahuan kepada peserta didik. Maka, muncul pertanyaan-pertanyaan provokatif dalam diri, apakah saya bisa menjadi guru? Apa yang saya berikan kepada para murid pada saat mengajar? Apakah materi yang saya bawakan nanti bisa membantu peserta didik untuk memperluas cakrawala berpikir atau justru sebaliknya menyesatkan cara berpikir mereka? Materi apa saja yang saya berikan kepada para siswa? Metode apa saja yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien?
Pertanyaan ini menjadi pergumulan saya pasca penerimaan kepercayaan menjadi guru. Saya menyadari bahwa saya tidak mempunyai kompetensi dalam hal mengajar. Apalagi mata pelajaran yang diembankan kepada saya merupakan mata pelajaran jarang saya pelajari dalam konteks teoritis. Hal ini sesuai backround studi saya bukan sarjana pendidikan bahasa Indonesia tetapi sarjana filsafat yang selama empat tahun bergulat dengan pemikiran-pemikiran para filsuf dari jaman nenek moyang 2000 tahun lalu sampai pemikiran para filsuf kontemporer. Meskipun, ada mata kuliah pedagogik tetapi mata kuliah itu lebih menekankan pada metode pendekatan dalam proses pembelajaran. Sedangkan, materi pembelajaran tidak pernah saya pelajari seperti para sarjana pendidikan bahasa Indonesia.

Pergulatan batin ini kemudian sampai pada satu titik di mana saya menemukan seberkas cahaya sebagai petunjuk untuk keluar dari alam pikiran yang pesimis menjadi optimis. Saya merasakannya seperti keluar dari gua Plato. Cahaya itu kemudian menghantar saya untuk berpikir bahwa selain saya mengajar, sebenarnya saya juga sedang belajar. Belajar tentang materi ajar dan belajar tentang metode mengajar yang baik. Dalam hati, saya membangun komitmen untuk mempersiapkan diri dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas saya sebagai guru. Maka dari itu, saya membaca beberapa buku tentang materi ajar bahasa Indonesia dan bejalar bagaimana menyampaikan materi agar menarik dan mudah untuk dimengerti. 
Persiapan ini cukup serius dan menguras tenaga yang banyak. Saya melakukan ini dengan tujuan paling kurang ada sesuatu yang berharga bagi siswa dari materi yang saya ajarkan untuk masa depan mereka yang lebih baik. Saya merasa gagal jika para siswa mengeluh karena tidak bisa menerima materi yang saya ajarkan. Analoginya seperti ini “saya mengajak mereka untuk berpetualangan ke dalam hutan sambil bejalar tentang hutan dan segala sesuatu yang ada di dalamnya tetapi saya tidak bisa memberikan jalan keluar untuk mereka. Akhirnya mereka terjebak di dalam hutan belantara, tersesat, dan akhirnya menjadi orang utan.” Atas dasar kesadaran ini, saya berjuang semaksimal mungkin untuk bisa mempersiapkan diri dengan baik.
Tujuan dan Metode Pembelajaran
Hari pertama masuk sekolah, hal yang saya bicara di depan siswa ialah tentang tujuan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Ada tiga hal yang menjadi tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. 
foto: Para siswa sedang mempresentasikan karya tulis hasil kerja kelompok

Pertama, meransang para siswa untuk belajar bahasa Indonesia dan mencintai bahasa Indonesia. Belajar bahasa Indonesia yang dimaksudkan ialah bagaimana bahasa Indonesia diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini perlu dilakukan karena bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Kita bisa berkomunikasi dengan siapa saja dan kapan saja dalam lingkup Negara Indonesia.

Kedua, untuk mendukung tujuan pertama di atas, tujuan kedua ini dilakukan dalam bentuk literasi. Literasi adalah sarana pengembangan kapasitas dan keterampilan seseorang dalam membangun daya pikir yang kritis, logis, dan kontruktif. Literasi sangat berhubungan erat dengan aktivitas membaca, menulis, berbicara atau berdiskusi dan juga menonton tayangan-tayangan yang bersifat edukatif. 

Dalam pengamatan saya, orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas adalah orang-orang yang lahir dari budaya literasi yang tinggi. Misalnya dalam hal membaca buku. Ketika kita membaca buku, itu berarti secara tidak langsung kita sedang membangun dialog dengan ide dari penulis buku. Karena itu, dalam proses membaca buku, kita mestinya mengambil sikap sebagai pembaca yang siap menerima ide penulis apabila idenya relevan dan bisa diterima oleh akal sehat kita sebagai pembaca. Namun, kita juga bisa menolak isi buku tersebut karena idenya tidak relevan dan bersebarangan dengan ide pembaca. Dengan demikian, membaca buku tidak sekedar membaca pikiran penulis tanpa mengkritisi ide penulis yang tertuang dalam buku.
Demikian dalam hal menulis. Menulis adalah aktivitas menuangkan gagasan atau ide yang masih beraktivitas dalam otak ke dalam bentuknya konkret. Ide itu harus diungkapkan agar menjadi sesuatu yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Ide juga menurut Rocky Gerung harus dipertengkarkan untuk menghasilkan satu pengetahuan yang baru. Kalau ide tidak dipertengkarkan berarti kita sedang berdoa. Karena itu, ide penting untuk menghasilkan satu peradaban dunia yang lebih baik. 

Menyadari akan penting ide dalam kehidupan manusia, maka saya mencoba untuk membangun iklim akademis yang berbasis pada aspek literasi, menulis. Saya meminta para siswa untuk membaca artikel berupa opini atau berita di Koran atau di majalan online. Setelah mereka membacanya, mereka harus meringkas artikel itu yang menjadi poin-poin penting. Setelah membaca dan meringkas, para siswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil ringkasan itu di hadapan teman-temannya di kelas. Setelah itu, siswa diberi kesempatan untuk mengomentasi artikel ringkasan tersebut dan mereka berdialog. Proses terus menerus dilakukan setiap jam pelajaran bahasa Indonesia. Dengan itu, para siswa memperoleh informasi, menemukan gagasan baru, mengasah daya pikir yang kritis dan logis juga mengamati cara penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar dari tanda baca sampai pada level menyusun kalimat efektif.

Out put dari proses membaca, menulis, dan mempresentasikan hasil bacaan itu kemudian diuji tingkat pemahaman siswa. Saya biasanya memberikan tugas bahasa Indonesia. Tugas ini ialah menyuruh siswa menulis satu artikel denga tema apa saja sebanyak satu halaman lembar buku. Tugas ini saya berikan kepada mereka dengan maksud untuk mengetahui tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka, untuk mengukur kemampuan bahasa Indonesia mereka, dan membantu mereka cara menuangkan gagasan atau ide yang tersimpan dalam otak ke dalam lembar buku berupa tulisan. Faktanya, ada siswa bisa menuangkan gagasan itu ke dalam bentuk tulisan yang bagus. Namun, ada juga siswa yang belum bisa menuangkan gagasan itu ke dalam bentuk tulisan. Dan, ada juga siswa yang pandai berbicara tetapi ketika dimintah untuk menulis gagasan yang disampaikannya itu tidak bisa. Karena itu, perlu ada latihan terhadap tiga komponen literasi bagi siswa yakni membaca, menulis, berbicara.
foto: Para siswa peserta lomba pidato bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

Proses ini bukan proses yang gampang. ada begitu banyak tantangan harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Baik tantangan itu datang dari siswa karena kemalasan atau kejenuhan juga datang dari diri sendiri yang merasa bosan dan juga kadang putus asa mengahadi perilaku siswa. Namun, bagi orang yang mempunyai komitmen tinggi dalam mendidik orang, tantangan itu dilhat sebagai peluang untuk belajar dan sabar menanggung lika-liku perjalanan menjadi guru. 

Karena itu, dengan mengalami suka duka menjadi guru, saya sebenarnya sedang belajar cara menjadi seorang guru baik – yang bisa meransang siswa untuk belajar dengan serius – dan cara untuk menyampaikan gagasan kepada siswa. Selain itu, saya belajar menjadi guru yang rendah hati untuk mendengarkan siswa. Dialog antarsiswa sangat penting, juga antara siswa dan guru. Jadi, tidak yang memonopoli kebenaran dalam ruang lingkup pendidikan yang adalah hanya kemungkinan adanya kebenaran yang baru. Karena itu, setiap gagasan itu harus diuji dan diperdebatkan.
 
Demikian pengalaman saya selama satu tahun menjadi guru bahasa Indonesia. Saya menyadari betul bahwa ini pengalaman yang menyenangkan dalam ziarah hidup saya. Dan saya berkomitmen untuk belajar menjadi yang lebih dari hari ke hari. Mendidik siswa menjadi baik sama hal kita menanam benih harapan bagi bangsa Indonesia yang lebih baik di kemudian hari.

 “Salam dari guru, oleh guru, dan untuk para guru dan para mantan guru” 
  

Jumat, 12 Mei 2023

Politik Patronase Sebagai Tantangan Demokrasi di Indonesia dan Cendekiawan sebagai Gerakan Alternatif







 Oleh: Vayan Yanuarius
Mahasiswa STFK Ledalero


Salah satu keberhasilan dari gerakan reformasi politik 1998 ialah perubahan arah sistem politik dari sentalisasi menuju desentralisasi. Pencapaian ini tentunya memberikan daya optimisme baru bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan konstitusi 1945 yakni “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945”. Dengan terlaksananya kedaulatan rakyat maka rakyat turut berpartisipasi secara penuh dalam menyelenggarakan kekuasaan.
Dengan terlaksananya demokratisasi maka proses politik hanya terjamin bila menggunakan kompetisi sebagai mekanismenya. Bagi pemilu, maksud itu tercapai lewat kontestasi politik yang bebas, jujur dan adil. Dalam pemilu masyarakat diberikan kebebasan menggunakan hak sebagai warga negara untuk memilih sendiri pemimpin yang sesuai dengan hati nurani. Tentunya dalam proses penyelenggaraan pemilu tersebut masyarakat terdorong oleh suatu keyakinan penuh akan tersalurnya aspirasi mereka dengan baik, memperhatikan kehidupan mereka dan berjuang untuk kepentingan bersama (bonum commune).
Namun de facto, Kontestasi politik elektoral di tingkat lokal beberapa tahun terakhir kurang menjamin nilai kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Hal ini dipicu oleh suatu gerakan politik yang disebut sebagai gerakan politik patronase. Politik patronase adalah politik yang merujuk pada barang materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada para pemilih atau pendukung. Praktik politik patronase ini digunakan sebagai salah satu strategi para kontestan untuk mendulang dukungan dari para konstituen.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Edward Aspinall, dkk. fenomena politik patronase dan klientelisme sangat subur dalam pemilu legislatif (pileg) 2014. Menurut cacatan para peneliti tersebut, pileg 2014 adalah pileg yang paling buruk dalam sejarah kontestasi politik di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena setiap caleg (calon legislatif) masing-masing memainkan strategi politik uang (money politic) melalui jalur politik patronase dan jaringan klientelisme.
Merujuk pada Shefte sebagaimana yang dikutip oleh Edward Aspinall dan Made Sukmajati, politik patronase adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau tim kampanye dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka. Dengan demikian, politik patronase merupakan suatu pendistribusian berupa uang tunai, barang, jasa, keuntungan ekonomi lainnya (seperti pekerjaan, atau kontrak proyek) oleh politisi baik kepada individu (misalnya berupa uang tunai) maupun kepada kelompok (misalnya lapangan sepak bola baru untuk para anak muda di sebuah kampung).
Praktik politik patronase sebenarnya bukan suatu fenomena baru dalam sebuah kontestasi politik di Indonesia pasca-reformasi. Namun, fenomena ini sudah terjadi jauh sebelumnya. Pada masa orde baru gerakan politik patronase sering kali terjadi hanya saja getahnya kurang dirasakan. Hal itu terjadi karena, pada masa orde baru sistem pemerintahan bersifat sentralistik – kekuasaan merepresi kebebasan individu untuk mengikuti aturan main. Sedangkan, era pasca Soeharto dengan terbentuknya desentralisasi fenomena politik patronase semakin berkembang karena masyarakat yang menjadi pusat penentu kemenangan sebuah kontestasi. Maka, untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin para kontestan menggunakan gerakan-gerakan politik informal berupa politik patronase dan klientelisme.
Dalam politik patronase, sebagaimana yang diutarakan oleh Scott adalah jaringan politik yang dibangun antara patron (dia yang memiliki kedudukan sosial ekonominya tinggi dalam suatu masyarakat) dengan klien (orang-orang tidak mempunyai apa-apa). Maka, jaringan itu terbentuk melalui pemenuhan kebutuhan masyarakat yang berkekurangan dan sebagai bentuk balasannya, masyarakat memberikan dukungan berupa “suara” dukungan politik. Dan apabila, relasi patron-klien tidak memiliki hubungan sama sekali maka patron menggunakan perantara untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Aktor perantara itu disebut broker. Dialah yang membangun komunikasi dengan masyarakat agar proses “penjalaan” suara dapat berjalan dengan efektif.
Tentunya strategi politik patronase dipengaruhi oleh situasi kehidupan masyarakat yang jamak. Artinya kondisi-kondisi sosial tertentu (necessary conditions) yang ada dalam suatu masyarakat membentuk suatu gerakan politik patronase. Misalnya hasil penelitian Campbell di kalangan orang Sarakatsan di Yunani, menemukan bahwa hubungan patron-klien antara kepala desa dan pemilik ternak di dukung oleh kondisi kalangan sumber daya alam berupa tanah penggembalaan yang baik serta besarnya kekuasaan yang diberikan kepada kepala desa. Sedangkan untuk konteks Indonesia, suburnya patronase dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang jauh dari kondisi kesejahteraan. Kesejahteraan masih sebatas jargon politik yang utopis bagi para penguasa. Padahal isu terpenting dalam ranah publik ialah isu pelayanan publik, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dan keamanan. Karena adanya distribusi ketimpangan kesejahteraan maka para kontestan politik memolitisasi isu tersebut sebagai strategi empuk mendapat dukungan dari rakyat.
Politisasi yang dimaksudkan ialah upaya atau tindakan yang menjadikan isu-isu dan kepentingan warga yang semula terabaikan atau tereksklusif dari agenda publik bertransformasi menjadi isu-isu strategis dan kepentingan publik, baik dilakukan melalui strategi aksi maupun deliberasi. Misalnya kontestasi politik di Bandung tahun 2013 menunjukkan bahwa politisasi isu kesejahteraan menjadi isu sentral yang menarik para kontestan untuk merebut suara rakyat. Karena kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan masyarakat tidak berjalan dengan baik maka para kontestan masuk ke dalam situasi tersebut dan seolah-olah menjadi aktor penyelamat (salvator) kebutuhan masyarakat dengan memberikan barang material. Atau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagaimana yang diteliti oleh Rudi Rohi bahwa isu strategis yang digunakan oleh seorang patron berupa pemenuhan kebutuhan hidup dengan mendistribusikan sejumlah barang kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa terjadi dengan merujuk pada data statistik kemiskinan di Indonesia, Provinsi NTT adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia.
Hemat penulis praktik politik seperti ini dapat membahayakan nilai-nilai eksistensial yang terkandung dalam demokrasi yakni kebebasan individu dalam menentukan pilihan politiknya yakni bebas, jujur dan adil. Menurut Robert Dahl, ada beberapa keutamaan yanag terkandung dalam Demokrasi; pertama, jamin adanya perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan warga negara. Hak dan kebebasan itu bukan diberikan oleh negara tetapi sesuatu yang ada (in se) dalam diri setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak dan kebebasan itu dapat berupa; hak berserikat, hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan informasi, bebas dari rasa takut, bebas dari kelaparan, bebas beragama dan bebas dari kebodohan.
Kedua, partisipasi aktif seluruh rakyat sebagai warga negara dalam kehidupan politik dalam kemasyarakatan (participatory democracy). Ketiga, sistem memilih dan menggantikan penyelenggara negara lembaga legislatif dan yudikatif pada tingkat nasional dan daerah melalui penyelenggara pemilu yang langsung, bebas, umum, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Salah satu ruang untuk mengaktualisasikan kebebasan dan hak asasi itu ialah partisipasi dalam pemilihan umum. Dalam pemilu setiap warga negara diharapkan untuk menggunakan hak dan kebebasan untuk memilih pemimpinnya secara otonom. Dalam diri yang otonom itu, seseorang menjatuhkan pilihan politik secara rasional. Rasionalitas berkaitan dengan aspek pengetahuan yang memaksa orang untuk berpikir kritis terhadap calon yang akan bertarung. Jane Addams, seorang aktivis sosial dalam bukunya Democracy and Social Ethics mengatakan demokrasi seharusnya tidak hanya menjadi konsep politik tetapi juga cara hidup.
Jadi, dalam kontestasi politik yang demokratis permainan politik patronase dapat merusak nilai demokrasi itu sendiri. Ia mereduksi hak dan kebebasan masyarakat pemilih dengan memberikan mereka sejumlah barang material. Rasionalitas masyarakat tumbul dengan hadirnya barang-barang material dari para politisi. Demokrasi itu bukan berlandaskan pada asas ekonomis yang kuat tetapi ideologi yang tinggi. Kandidat yang mempunyai ideologi yang baik untuk kesejahteraan masyarakat akan memiliki peluang menjadi pemenang dalam kontestasi. Demikian pun sebaliknya, kandidat yang memiliki kekuatan ideologi lemah niscaya akan kalah dalam berkontestasi. Selain merepresi kebebasan masyarakat, praktik politik patronase sifatnya karitatif. Artinya, dalam negara demokrasi, seorang pemimpin tidak boleh melakukan pemberian yang bersifat karitatif. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memberikan sesuatu kepada masyarakat karena itu adalah hak rakyat. Jadi, pemberian dari negara bukan merepresentasikan kebaikan individu yang memberi (pemimpin) tetapi itu adalah hak dari masyarakat itu sendiri.
Merespons masifnya praktik politik patronase di Indonesia yang berpotensi menghancurkan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi maka upaya solutif yang ingin dianjurkan dalam tulisan ini ialah keterlibatan kaum cendekiawan Indonesia untuk melakukan edukasi politik kepada masyarakat tentang bahaya dari politik patronase. Cendekiawan yang dimaksudkan ialah orang-orang yang memiliki pengetahuan teoritis yang luas, kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan mempunyai daya transformasi sosial yang tinggi. Dengan modal yang dimilikinya itu, para cendekiawan dapat bergerak menentang realitas sosial yang penuh dengan penindasan, ketidak-adilan. Antonio Gramci memberikan nama “organik” kepada cendekiawan yang mengartikulasikan pandangan hidup dunia, kepentingan, tujuan dan kemampuan kelas tertentu.
Dalam catatan historis tentang ekspansi gerakan kaum intelektual dipenjuru dunia, sudah terekam jelas bahwa gerakan kaum intelektual mendapat respon yang positif di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi karena peran kaum intelektual dalam peradaban dunia sangat tinggi. Salah satu intelektual ternama ialah Rousseau. Menurut catatan Ignas Kleden, perkembangan intelektual Rousseau berawal dari minat dan nafsu untuk membaca buku baik yang diwariskan oleh ayahnya maupun yang ada di perpustakaan-perpustakaan perempuan. Dia mencoba mempelajari sesuatu dengan tekun, rajin dan konsisten. Al-hasil petualangan intelektualnya itu mempengaruhi daratan Eropa pada abad-18 dan sesudahnya, yang kemudian menjadi suatu gerakan Romantik dalam filsafat, seni dan gaya hidup. Gerakan ini kemudian menjadi gerakan yang mempengaruhi rasionalisme masa percerahan yang memposisikan manusia pada akal dan kekuatan akal. Rousseau membelokkan paradigma ini dengan memperkenalkan paradigma hidup baru yang berlandaskan pada perasaan yang spontan, yang muncul dengan kuat, leluasa dan tanpa kekang.
Selain Rousseau, gambaran cendekiawan tanah air, misalnya Soedjatmoko yang berani menentang sistem politik Indonesia yang membusuk. Usaha awal yang dilakukan oleh Soedjatmoko ialah mengambil peran sebagai intelektual aktif dengan bekerja sebagai editor harian Pedomaan dan majalah mingguan politik Siasat. Dari situ, dia memperlajari dan merespon segala bentuk pertikaian ideologi politik. Bagi dia, pembangunan ekonomi adalah syarat mutlak untuk mengatasi berbagai persoalan di Indonesia. Lebih lanjut dia terangkan bahwa kemerdekaan dan kemungkinan untuk menentukan nasib sendiri tergantung dari kesanggupan meluncurkan pembangunan ekonomi yang proposional.
Atas dasar perjuangan yang keras itu, pada tahun 1980, Soedjatmoko dipercayakan untuk menjadi Rektor Universitas PBB. Masalah-masalah yang harus dikerjakan oleh Soedjatmoko ialah perdamaian, keamanan, ekonomi, kemiskinan, pembangunan manusia dan ilmu pengetahuan. Setelah menjabat sebagai Rektor PBB tahun 1987 Soedjatmoko kembali ke Indonesia. Namun, pada saat ia kembali ke Indonesia, presiden Soeharto tidak memberikan jabatan formal kepada orang yang berusia 65 ke atas. Tetapi Soejadmoko tidak berkecil hati. Ia sendiri menganggap sebaiknya tidak semua intelektual masuk dalam lingkaran kekuasaan. Harus ada yang berada di luar gelanggang agar dapat berimbang antara negara dan masyarakat terjaga. Corak berpikir seperti ini juga pernah dilontarkan oleh seorang cendekiawan Indonesia yakni Soe Hok Gie. Gie katakan seorang intelektual harus berdiri di luar jaringan kekuasaan untuk menggulingkan rezim kekuasaan yang buruk. Ia adalah seorang pejuang yang sendirian. Ia bertahan menjadi seorang intelektual yang merdeka, sendirian, kesepian dan menderita serta tetap setia dengan cita-cita kemanusiaannya.
Pada tahun 1988, Soedjatmoko memperoleh The Grand Gordon of The Order of the Sacred Treasure (Bintang Tanda Jasa Harta Suci Agung) dari kaisar Jepang. Penghargaan ini diperoleh karena Soedjatmoko berhasil memajukan kerja sama antara PBB dan kelompok ilmuwan Jepang dan peningkatan pengertian masyarakat Jepang atas masalah-masalah dunia ketiga. Tulisannya yang berjudul Development and Freedom menarik perhatian masyarakat Jepang untuk menata peranan yang harus dimainkan dalam menatap masa depan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa salah satu tanggung jawab dari cendekiawan itu ialah melakukan transformasi daya berpikir masyarakat melalui edukasi politik seperti yang telah dilakukan oleh Soedjatmoko di atas agar tidak terjebak dalam praktik politik kotor. Dalam konteks politik patronase, transformasi daya pikir masyarakat dapat menyelamatkan masa depan demokrasi bangsa Indonesia. Demokratisasi bangsa Indonesia mesti dibangun atas dasar kesadaran masyarakat yang tinggi; yang bisa berpikir sendiri dan yang tahu membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Addams katakan salah satu cara untuk mengamankan demokrasi ialah dengan meningkatkan tanggung jawab bagi seluruh masyarakat (termasuk para cendekiawan).
Maka dengan itu, hemat penulis sebagai salah satu aktor intelektual, para cendekiawan terpanggil untuk melakukan transformasi radikal menuju masyarakat demokratis yang penuh kesadaran politik yang tinggi. Dengan menanam nilai-nilai politik yang bermartabat kepada masyarakat, masyarakat niscaya memiliki pengetahuan sebagai senjata untuk melumpuhkan praktik-praktik politik kotor termasuk politik patronase yang marah terjadi hingga saat ini.
Hal ini yang perlu dicatat bahwa Soedjatmoko adalah satu dari sekian banyak cendekiawan tanah air yang memiliki corak berpikir militan dan prrogresif dalam membangun tatanan kehidupan manusia dalam suatu negara. Para cendekiawan lain misalnya ialah Soekarno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya. Mereka inilah yang hemat saya adalah tokoh cendekiawan yang layak untuk dijadikan cerminan kebangkitan cendekiawan saat ini. Mereka telah membuka jalan yang lebar dan luar tentang bagaimana seharusnya cendekiawan bersikap.
Oleh karena itu, untuk memperdalam seluruh pembahasan di atas maka penulis mengusung judul “ Politik Patronase Sebagai Tantang Demokrasi Di Indonesia Dan Cendekiawan Sebagai Gerakan Alternatif.” Dengan mengusung judul ini, penulis berusaha membaca fenomena politik patronase di Indonesia dan bahayanya bagi demokrasi. Selain itu juga, penulis mencoba melibatkan aktor cendekiawan sebagai gerakan alternatif terhadap politik patronase itu sendiri.

Kepergian

Tentang Kepergian,  pasti selalu ada jejak keindahan yang harus dikenang agar bisa mengerti bahwa tak selamanya Kepergian mening...