Oleh: Vayan Yanuarius
Diana adalah siswa kelas XI di salah satu Sekolah. Ketika saya masuk ruangan kelas Diana untuk mengajar materi Sejarah Gereja, saya diperhadapkan pada satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Diana. Pertanyaannya demikian, “Pak. Guru, saya punya teman setiap hari sering berdoa di Kapela, di ruangan adorasi, dan di depan gua Maria. Dia juga selalu memakai Rosario pada lehernya, baik pada saat kerja maupun pada saat olahraga. Di sekolah, teman-temannya menjulukinya sebagai “Tabernakel berjalan”. Tabernakel adalah tempat penyimpanan Sakramen Maha Kudus sehingga dia diasosiasikan dengan yang kudus. Apakah dengan mengenakan properti rohani tersebut dan kesetiaan pada hidup doa adalah jalan menuju kekudusan?
Pertanyaan di atas menjadi cikal bakal lahirnya diskusi dan perdebatan di kalangan siswa di dalam ruangan kelas itu. Sebagian besar siswa yang ada di dalam ruangan kelas menyetujui pendapat Diana yang mengatakan bahwa doa adalah jalan satu-satunya bagi seseorang untuk menjadi kudus. Namun, ada juga siswa mengatakan tidak, dengan pelbagai alasan yang rational. Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebagai guru saya mencoba memberikan jawaban dengan menggunakan satu perspektif yang dimabil dari Surat Apostolik Gaudate et Exultate tentang Kekudusan yang ditulis oleh Paus Fransiskus pada Tahun 2018.
Mengenal Surat Apostolik Gaudate et Exultate
Surat Apostolik Gaudate et Exultate (bersukacita dan bergembilah) merupakan seruan apostolik ke tiga Paus Fransiskus selama masa menjabat sebagai Paus setelah Evangelii Gaudium dan Amoris Laetitia. Surat Apostolik Gaudate et exultate terbit pada tangal 19 Maret 2018. Surat ini pada awal ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris dari Vatikan, kemudian diterjahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh R. P. T. Krispurwana Cahayadi, SJ dengan perbadingan bahasa Italia dan Perancis.
Menurut Paus Fransiskus, Surat Apostolik ini dibuat dengan maksud untuk menggemakan kembali panggilan menuju kekudusan, dengan mencoba untuk mewujudkannya pada masa kini, dengan segala risiko, tantangan, dan peluangnya (bdk. Surat Apostolik Gaudate et Exultate, hlm. 7). Jadi, Dia tidak sedang merumuskan defenisi, distingsi, dan analisis yang rigid cara-cara pengudusan. Namun, ia mencoba untuk menghidupkan kembali sebagian kecil dari konsep kekudusan yang “mengalami kematian”. Itu berarti Paus Fransiskus tidak mengubah pola defenisi apalagi menganalisis cara-cara pengudusan tetapi dia hanya sekedar merefleksikan kembali panggilan kekudusan yang sudah terpatri dalam sanubari setiap manusia.
Satu hal yang menarik dari surat Apostolik Gaudate et Exultate yang sangat relevan dengan pertanyaan yang diajukkan oleh Diana di atas yakni,
“Untuk menjadi kudus tidak perlu menjadi seorang uskup, imam ataupun religius. Kita sering kali tergoda untuk memikirkan bahwa kekudusan hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang dapat menjaga jarak dari pekerjaan biasa sehari-hari dan mencurahkan waktu lebih banyak untuk berdoa. Bukan seperti itu. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari, di manapun kita berada.” (bdk. Gaudate et Exultate, hal. 12)
.
Karena itu, bagaimana kita bisa menemukan jalan kekudusan itu? Apa saja yang perlu dilakukan untuk menjadi orang kudus? pertanyaan-pertanyaan di atas akan menghantar kita pada satu titik refleksi yang lebih dalam tentang jalan menuju kekudusan.
Kekudusan: Keseimbangan antara Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Sosial
Menurut Tony Buzan sebagaimana yang dikutip oleh Frans Nala dalam artikelnya berjudul “Kecerdasan Sosial dan Intuisi Pastoral” (2012: 112) menjelaskan bahwa kecerdasan adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah dan mampu mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Defenisi ini menekankan individu (seseorang) sebagai subjek tunggal dalam menata lingkungan secara efektif dengan pola pikir dan tindakan yang baik dan benar. Kecerdasan ini menjadi penting lantaran manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya dia membutuhkan orang lain untuk bisa mempertahankan hidupnya. Kehadiran “yang lain” menjadi alasan fundamental bagi seseorang untuk mengasah kecerdasannya.
Kecerdasan Spiritual dan Sosial, Apa itu?
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk membangun hubungan dengan Tuhan Sang Pencipta. Pola relasi antara manusia dengan Tuhan bersifat vertikal. Pola relasi dan komunikasi antara manusia dan Tuhan bisa dalam bentuk doa, refleksi kitab suci, dan juga merawat alam ciptaan lainnya. Dalam Gereja Katolik, membangun relasi yang intim dengan Tuhan niscaya akan memperoleh kebahagiaan dan keselamatan.
Sedangkan kecerdasan sosial berhubungan dengan pola relasi seseorang dengan lingkungan sekitarnya. Orang yang memiliki kecerdasan sosial pasti diterima di tengah lingkungan masyarakatnya. Kecerdasan sosial bukan sekedar ada bersama dalam satu kelompok tetapi lebih dari pada itu dapat memberikan makna atau sesuatu yang positif bagi orang lain. Dengan demikian, kecerdasan spiritual dan sosial tidak dapat dipisahkan dalam ziarah hidup manusia untuk mencapai kekudusan.
Menyadari panggilan kekudusan sangat urgen bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus maka Paus memberikan rekomendasi tentang jalan menuju kekudusan yang sejati. Menurut Paus Fransiskus kekudusan seseorang tidak terletak pada seberapa banyak waktu yang digunakan seseorang untuk berdoa, seberapa megah atribut kerohanian yang melekat dalam tubuh seseorang seperti jubah atau Rosario, gambar-gambar kudus yang dipanjangkan dimana-mana dan selalu dibawa kemana-mana. Namun, yang dimaksud dengan kekudusan oleh Paus Fransiskus terletak pada keseimbangan antara kecerdasan spiritual (hidup doa) dan kecerdasan sosial. Dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Keduanya bisa diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang selalu melekat erat.
Berdasarkan perjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kekudusan bukan sekedar mengasah aspek spiritual melalui hidup doa tetapi juga mengasah aspek sosial. Jadi, kekudusan bukan terletak pada kesunyian sendiri dan menjaga jarak dengan orang lain. Juga bukan sekedar mencintai Tuhan Allah dan mengabaikan sesama. Kekudusan sejati terletak pada relasi sosial yang harmonis dan akur atas dasar spirit Roh Kudus. Itu berarti kekudusan mesti mendarat sampai pada tindakan nyata seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Sta. Teresia dari Kalkuta (1910-1997) misalnya menjadi orang kudus dalam gereja Katolik karena spirit pelayanannya kepada orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat. Dia seorang biarawati dari kongregasi Missionaris of Charity. Sebagai seorang biarawati, tentunya dia menekuni hidup doa. Namun, kehidupan doa tidak sekedar ada bersama dengan Tuhan di dalam rumah ibadat atau di depan patung kudus di dalam biara tetapi dia masuk ke dalam realita kehidupan sesamanya dalam masyarakat. Dia keluar dari kesunyian biara untuk ada bersama orang yang sedang menderita.
Secara konkret Paus Fransiskus menjelaskan kekudusan terletak pada orang tua yang selalu setia dan sabar dalam membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang. Kekudusan juga terletak pada suami istri yang berjuang untuk menafkahi keluarganya. Kekudusan juga terletak pada diri pelajar yang selalu berjuang untuk meraih masa depan dan membalas pengorbanan orang tua. Kekudusan terletak pada orang yang memberi sedekah kepada orang yang membutuhkannya. Kekudusan terletak pada sikap seseorang menghidari diri dari kehidupan sosial yang bersifat destruktif dan kriminalis. Jadi, kekudusan bukan sekedar mendekatkan diri pada Tuhan Allah dan menjaga jarak dengan sesama.
Jalan Inspirasi Menuju Kekudusan
Kisah orang Samaria yang baik hati dalam Kitab Suci hemat penulis bisa dijadikan sebagai jalan inspirasi menuju kekudusan dalam hidup manusia. Kisah orang Samaria yang baik, secara gamlang mengambarkan bagaimana kekudusan itu terletak bukan hanya pada orang-orang yang berjubah rohani, yang selalu menghafal kitab suci dari ayat ke ayat, dan berpakaian kemegahan yang melambangkan kekuasaan dan kerhormatan tetapi kekudusan juga terletak pada diri orang-orang disingkirkan dan distigma berdosa namun mempunyai hati untuk membantu sesama yang mengalami musibah dan menderita.
Kisah itu menceritakan ada seseorang yang turun dari Yeriko ke Yerusalem untuk mengikuti upacara agama. Dalam perjalanan menuju Yerusalem, tiba-tiba ada orang yang menghampirinya dan merampoknya sekaligus memukulnya sampai ia jatuh terkapar tak berdaya. Tubuhnya tergelatak di pinggir jalan. Dalam keadaan darurat itu, datanglah seorang imam yang sedang mengenakan jubah putih. Ia melihat korban itu penuh dengan darah. Namun, dia tidak menolongnya dan menghindar dari kenyataan itu.
Setelah dia pergi, datanglah orang Samaria. Orang Samaria pada waktu itu dicap sebagai orang berdosa karena sikap mereka yang tidak taat pada Allah. Namun, ketika orang Samaria itu melihat korban di pinggir jalan, hatinya menaruh belaskasihan untuk menolongnya. Dia mengangkat korban itu dan menghantarnya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan serius. Singkat cerita, akhirnya korban itu sembuh kembali.
Dari kisah di atas, penulis mengamini penyataan Paus Fransiskus tentang kekudusan. Namun, bukan berarti penulis merekomendasikan bahwa hidup doa itu tidak penting. Yang perlu dilakukan untuk mencapai kekudusan ialah menghayati spiritualitas Yesus Kristus secara proposional baik melalui doa maupun tindakan nyata. Sangatlah mustahir bagi penulis apabila ada orang yang mengatakan bahwa “aku mencintai Tuhan Allahku dengan sepenuh hati dan dengan segenap jiwa dan raga, tetapi pada saat yang sama dia sedang membenci orang lain di sekitarnya.”
Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja (2013:75) menjelaskan tentang pribadi manusia sebagai Imago Dei (gambar atau rupa Allah) (bdk. Kej 1:27). Sebagai gambar Allah, manusia memiliki keserupaan dengan Allah sebagai Pencipta. Kehadiaran manusia di dunia ini merepresentasikan kehadiaran Allah itu sendiri. Itu berarti keberagaman manusia di dunia ini mengambarkan wajah Allah itu sendiri. Dengan demikian, melukai orang lain sama artinya melukai Allah itu sendiri. Mencintai sesama sama arti mencintai Allah sendiri. Karena itu, kekudusan bukan hanya terletak pada sikap kita untuk mencintai Tuhan dan mengabaikan orang lain tetapi kekudusan itu terletak pada bagaimana kita menerjemahkan keyakinan kita kepada Allah dengan membangun hidup sosial yang baik di tengah dunia ini. Allah selalu ada dalam diri ciptaannya. Kehadirannya secara kasat mata dalam bentuk ciptaan yang kita jumpai setiap saat.
Jadi, kekudusan seseorang tidak terletak pada cara hidup seseorang yang meluluh mendekatkan diri pada Tuhan tetapi lebih daripada itu kekudusan mesti dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengasah kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain. Tuhan Allah yang kita Imani sudah menampakkan dirinya pada semua ciptaan yang ada di bumi ini. Karena itu, tugas kita ialah merawat hubungan yang harmonis dengan Tuhan Allah dengan cara berdamai dengan sesama dan alam ciptaan yang ada di sekitar kita.