Senin, 13 November 2023

Sakit

Oleh: Vayan Yanuarius

Sakit
Tak ada yang tahu persis kapan dia menyerang tubuh
Tak ada satu pun yang mengundangnya datang bertamu pada tubuh yang lemah
Ada orang siap sedia menyambut kedatangannya
Sebab dia datang tanpa diundang
Sepih dan sendiri adalah konsekuensi dari kedatangan
Dia tidak seperti tamu yang lain 
Yang dapat memecahkan kesunyian lantaran ada canda dan tawa, ada senyum bahagia
Dia datang membawa luka dan air mata, jeritan dan rintihan
Berharap dia pulang secepatnya sebab cuan waktu makin larut dan Cuan makin mengikis pergi tak tanpa dapat irit

Minggu, 12 November 2023

Etika Keduniawian dan Relevansi Praktis di Tengah Dunia

 

Oleh: Vayan Yanuarius

Yosep Keladu menulis buku Etika Keduniawian menurut Hannah Arendt. Dalam buku tersebut ada  tiga poin penting yang hemat penulis sangat relevan dengan kehidupan politik jaman sekarang. Poin pertama membicara tentang modernitas: nihilistik dan Alienatif. Kedua ialah berpikir tentang dunia dan tanggung jawab, dan ketiga ialah menilai tindakan politik dan pencaharian makna. Ketiga poin utama dalam buku ini akan bermuara pada titik dimana Yosef Keladu memberikan afirmasi ulang dalam konteks kejahatan politik di tanah air yakni tindakan korupsi. Namun, untuk sampai pada titik kulminasi penjelasan buku ini, Yosef Keladu mengajak pembaca untuk mengenal secara garis besar siapa itu Hannah Arendt dan bagaimana maksud dari Etika Keduniawian itu sendiri.

Hannah Arendt adalah seorang filsuf perempuan berbangsa Jerman. Pemikirannya cukup progresif dalam bidang etika dan politik. Dalam menganalisis kehidupan politik, Arendt menggunakan pisau analisis fenomenologis yang mengindikasikan karakter hidup manusia di dunia yang bersifat faktual dan eksperiensial. Artinya ialah Arendt mengadopsi metode fenomenologis untuk menangkap struktur dasar pengalaman politis kehidupan manusia. Karena itu, Arendt sangat menghormati pluralitas kehidupan manusia. Pluralitas menurut Arendt adalah suatu keunikan yang perlu dilestarikan karena pluralitas merupakan unsur pembentuk suatu Negara. Sikap yang terpenting dari faktum pluralitas ialah komitmen dan tanggung jawab terhadap dunia kehidupan (lebenswelt) bersama.
Lebih lanjut Arendt menegaskan bahwa ada bersama dan di antara orang lain harus menjadi pusat dan fokus dari aktivitas politik.

Lalu, apa yang dimaksudkan dengan Etika Keduniawian? Menurut Reymond Geuss ada dua pengertian tentang Etika. Pertama, etika berarti peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana kita bertindak kearah orang lain. Kedua, etika menunjuk pada cara melihat dan berpikir tentang manusia (hal. 12). Sedangkan, term keduniawian diartikan sebagai dunia itu sendiri (hal. 13). Arendt dengan sengaja menggunakan term keduniawian karena menurut dia term keduniawian menunjukan kondisi eksistensial manusia dan realitas dunia. Karena itu, dalam Human Condition, Arendt mengatakan “manusia adalah ada yang terkondisikan karena segala sesuatu yang berkontak dengan mereka akan secara langsung menjadi sebuah kondisi hidup mereka. Apa saja yang menyentuh atau masuk ke dalam sebuah relasi yang tetap dengan hidup manusia secara langsung menjadi karakter dari kondisi eksistensial manusia”.

Poin pertama yang dibahas dalam buku ini ialah konsep modernitas: nihilistik dan Alienatif. Poin ini dikritik oleh Arendt karena menurut dia modernitas yang menciptakan kondisi worldlessness atau anti-politik. Worldlessness adalah kondisi yang kondusif terciptanya kejahatan melawan kemanusiaan atau mengondisikan orang untuk menjadi pelaku kejahatan. Dalam konteks ini Arendt mencoba mengangkat ke permukaan peristiwa pembantaian ribuan jiwa manusia di Jerman pada jaman Hitler di bawah komandan Eichman. Bagi Arendt, kejahatan yang dilakukan oleh Eichman merupakan salah satu bentuk dari worldlessness.

Friedrich Nietzsche menyebut worldlessness sebagai kehilangan dunia dan secara terbuka menilai nihilisme sebagai penyebabnya. Nihilisme adalah keyakinan bahwa nilai-nilai tertinggi tidak dapat direalisasikan dalam dunia (hal. 28). Konsep inilah yang mendasari pemikiran Nietzsche yang mengatakan “Tuhan telah mati”. Sementara Haidegger mempertimbangkan efek lain dari nihilisme. Menurut Haidegger nihilisme merupakan salah satu bentuk penyangkalan terhadap objek-objek yang ada di dunia ini. Dia mengatakan sesuatu dianggap riil kalau objek itu dispesifikasi lebih dahulu dalam intelek manusia (hal. 31). Hal ini disebut sebagai a priori representation.

Dari perspektif di atas, Arendt menilai bahwa bahaya nihilisme adalah berhentinya aktivitas manusia untuk berpikir (thoughtless). Ketika orang berhenti untuk berpikir maka besar kemungkinan manusia kehilangan daya kritis untuk menilai segala sesuatu yang baru.
Sementara, dalam konteks alienasi, Arendt menganalisis bahwa modernitas dapat menciptakan alienasi manusia dari dunia yang dipahami sebagai ruang bersama. Alienasi kemudian tampak jelas dalam filsafat modern yang dimulai oleh Socrates. Hal ini bertolak dari keraguan atas eksistensi dunia. Karena segala sesuatu yang berada di luar intelek diragukan eksistensinya maka satu-satunya cara untuk mencapai kepastian ialah introspeksi. Introspeksi menghancurkan aktualitas dengan memasukkan objek-objek dunia ke dalam intelek. Akibatnya ialah pemikiran manusia adalah hal yang paling pasti.

Poin kedua yang mau diangkat dalam buku ini ialah tanggung jawab terhadap dunia. Dunia dibentuk ketika manusia ada bersama untuk bertindak dan membicarakan persoalan bersama (hal. 91). Dengan demikian, dunia bersifat rapuh ketika setiap orang bertindak secara individual. Karena sifatnya yang rapuh itu maka Arendt berbicara tentang tanggung jawab terhadap dunia. Arendt sungguh percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi kerapuhan dunia ini. Keyakinan Arendt ini diadopsi dari konsep amor mundi, cinta akan dunia yang diambilnya dari St. Agustinus.
Konsep cinta kemudian diperluas maknanya oleh Arendt sebagai rasa kepedulian terhadap dunia. Ketika orang peduli dengan dunia, orang akan berupaya untuk memahami atau mengetahui dunia dan menilai apa yang sedang terjadi di dalamnya. Dengan berpikir tentang dunia kita berusaha mencitakan situasi yang kondusif dan efektif bagi kehidupan.
Selain kepedulian yang tinggi terhadap dunia, kita juga diajak untuk menjadikan dunia ini sebagai rumah kita sendiri. Arendt membicarakan hal ini dengan maksud supaya kita bercerita dan mengingat, seta pentingnya mengampuni dan berjanji. Tujuannya ialah untuk mempertahankan eksistensi sebuah dunia sebagai tempat kehidupan manusia.

Poin ketiga ialah menilai tindakan politik. Arendt mengindentifikasikan tindakan dan politik, dalam arti bahwa tindakan adalah politik dan politik adalah tindakan. Menurut Arendt ada kesamaan antara tindakan dan politik. Keduanya didasarkan pada kondisi pluralitas. Namun ada kemungkinan runtuhnya politik jika kita salah memahami politik itu sendiri. Misalnya, pertama ialah konsep politik ditarik ke dalam kodrat manusia sebagai makhluk politik. Asumsi ini dinilai keliru kerena tidak ada sesuatu yang bersifat politis dalam diri manusia.
Kedua ialah manusia secara kodrati tidak cocok untuk hidup bersama karena terjadi perang semua melawan semua seperti yang gagaskan oleh Thomas Hobbes. Realitas perang di atas membuat kehidupan manusia dalam keadaan alamiah tidak mempunyai makna sama sekali. Dalam penilaian Arendt, ide dari Hobbes di atas mereduksi sekaligus mengeliminasi pluralitas dan kebebasan berbicara dan bertindak. Menurut Arendt kita tidak dilahirkan dalam kemampuan yang sama atau sederajat. Kesederajatan kita dapat terjadi ketika kita membangun peradaban bersama untuk menjamin hak yang sama di antara kita.

Berpikir tentang dunia atau politik hendaknya melengkapi dengan kemampuan untuk menilai tindakan. Kerena itu, untuk menilai tindakan manusia kita, pada umunya menggunakan perspektif moral deontologi dan utilitarianisme. Kedua perspektif ini sangat membantu untuk menilai apakah sebuah tindakan baik atau jahat. Namun, Arendt menyangsikan kedua perspektif moral di atas karena bagi Arendt tindakan dinilai bukan berdasarkan pada kebaikan (goodness) tetapi kebesaran (greatness). Artinya ialah sebuah tindakan dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang terungkap atau ditemukan dalam pelaksanaan tindakan itu sendiri.

Untuk mempertajam pemahaman akan tindakan politik, Yosef Keladu menguraikan konsep Arendt tentang penilaian reflektif. Arendt melakukan observasi dari bukunya Kant, Critique of Judgment. Ia menemukan bahwa Kant mendefenisikan penilaian adalah kemampuan untuk memikirkan hal-hal partikular sebagaimana termasuk dalam hal-hal universal. Jika hal-hal universal (peraturan, prinsip, dan hukum) diberikan, maka penilaian di mana hal-hal partikular dimasukan ke dalam yang universal disebut determinate. Karena itu, penilaian relektif berupaya untuk menemukan yang universal dalam penilaian partikular dan dengan demikian penilaian reflektif bertujuan membentuk isi yang bersifat konkret dan dapat dikomunikasikan secara universal dari pengalaman.

Arendt juga menekankan dalam menilai kita hendaknya mempertimbangkan pendapat orang lain. Hal ini menunjukan respek terhadap orang lain, karena seperti diri kita sendiri, orang lain adalah pribadi-pribadi yang bertindak dan berpikir. Keyakinan pada kemampuan orang lain untuk mengidikasikan bahwa semua manusia mempunyai kemampuan yang umum dan karena itu dapat menilai dari yang berbeda dari dunia. Karena itu, Arendt menekankan batasan etis dari semua penilaian adalah perbuatan atau perkataan yang bertahan dalam dunia manusia. Hal itu berarti perhatian yang khusus terhadap yang partikular untuk kebaikan bagi semua orang atau publik. Jadi, setiap kali kita menilai sebuah tindakan yang terjadi dalam dunia, kita mengamati apa kehebatan dari tindakan tersebut untuk masyarakat umum (publik).

Poin terakhir dari buku Etika Keduniawian ialah banalitas kejahatan korupsi dan aktivitas berpikir. Poin ini menjadi titik simpul ulasan dari Yosef Keladu. Yosef Keladu mengangakat kasus korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Dia mengatakan korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap banalitas. Artinya korupsi dipandang sebagai faktum yang biasa-biasa saja karena sering dilakukan. Persoalan muncul ketika korupsi ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, kehidupan rohani sangat baik dan pengetahuan yang sangat luas. Karena itu, Arendt mengatakan bahwa terlalu naif kalau kita katakan korupsi terjadi karena system yang memungkinkan seseorang bertindak korupsi.

Menurut Arendt, sistem itu diciptakan oleh manusia. Karena itu, sifatnya tidak permanen dan dapat diubah ketika system itu tidak produktif untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi memang dilakukan oleh manusia dengan tingkat kesadaran yang tinggi khususnya para pejabat publik atau aktor politik. Mereka kurang mampu untuk mengasah daya kritis dan representatif ketika berhadapan dengan system yang mereka ciptakan sendiri.

Menurut penulis keunggulan dari argumentasi Arendt terletak pada kemampuannya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang ada. Dia tidak sebatas pada penemuan akar persoalan dari korupsi tetapi lebih dari itu yakni solusi. Solusi yang ditawarkan oleh Arendt ialah aktivitas berpikir. Menurut Arendt, seperti yang disinggung pada poin sebelumnya bahwa berpikir merupakan jaringan yang paling aman untuk melawan kejahatan termasuk korupsi. Dan, dalam aktivitas berpikir hal pertama yang mesti dilakukan ialah refleksi, melihat diri sendiri atau berpikir tentang diri sendiri. Karena itu, ia harus berdialog dengan diri sendiri seperti yang sering dilakukan oleh Socrates. Socrates pernah mengatakan bahwa lebih baik bagiku kalau banyak orang tidak sepaham dengan saya dan menentang saya daripada saya bertentangan dengan diriku sendiri.

Arendt akhirnya dengan penuh kepercayaan menilai kejatahatan korupsi bisa diatasi apabila seseorang yang berada di dalam lingkaran kekuasaan terus mengasah kemampuan berpikir reflektif. Karena berpikir reflektif dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang produktif dan berdaya guna bagi banyak orang.

Kamis, 02 November 2023

Artificial Intelligence: Tantangan Manusia Abad-21

Oleh: Vayan Yanuarius

I. Pendahuluan

Media The Conversation.com beberapa bulan terakhir menyajikan tulisan yang menarik tentang Artificial Intelligence (AI). Media tersebut mempublikasikan tulisan tentang AI dari dua perspektif yang berbeda. Pertama, AI dilihat sebagai sesuatu yang mengancam tatanan kehidupan manusia saat ini. Misalnya tulisan Arif Perdana dari Monas University, Daniel Prince dari Lancaster University, Ayu Anastasya dari Universitas Padjadjaran, dll. Kedua, AI dilihat sebagai peluang emas yang harus dimanfaatkan seakurat mungkin untuk menciptakan tatanan kehidupan manusia saat ini. Misalnya tulisan Eun Young dari University of Portsmounth, Rino Putama, dari The Conversation, Albert J. Rapha dari Universitas Diponegoro, dan Hafiza Raisya Indrani dari Yayasan Kopenik.

Hemat penulis, perdebatan para intelektual di atas tentunya sangat menarik untuk ditelaah sejauh mungkin agar bisa menemukan benang merah yang bisa menyikapi AI demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang lebih baik. 

Penulis melihat, kehadiran AI lebih pada tantangan yang harus diterima saat ini. Namun, pada saat yang sama AI perlu disikapi dengan bijaksana karena mampu mempermudahkan dan mempercepat efektivitas kerja manusia. Sistem kerja dari AI ini kurang lebih menghampiri dengan kecerdasan manusia alami. Dengan demikian, manusia tidak lagi mengandalkan kemampuan sendiri untuk melakukan transformasi tatanan kehidupan yang lebih baik
 
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas pertanyaan yang muncul ialah bagaimana AI dilihat sebagai tantangan dan peluang bagi terciptanya tatanan kehidupan manusia abad 21 ini? Bagaimana menyikapi dampak negatif dari AI bagi kehidupan masyarakat saat ini? pertanyaan-pertanyaan di atas akan diperjelas dalam ulasan berikut ini.

II. Artificial Intelligence, Apa itu?

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) merupakan salah satu bagian dari ilmu computer yang beroperasi dalam bentuk mesin (computer) seperti dan sebaik yang dikerjakan oleh manusia. Sejarah mencatat, pada awalnya computer hanya digunakan sebagai alat untuk menghitung. Namun, zaman semakin berubah, manusia juga ikut berubah. Perubahan yang signifikan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk aspek teknologi yang di mana terjadi perluasan pemanfaatan computer yang awalnya digunakan sebagai alat untuk menghitung tetapi berkembang menjadi alat bisa mengoperasi segala sesuatu seperti yang dilakukan oleh manusia. Jadi, artificial intelegence merupakan suatu proses pengolah data dan sistem dalam computer sehingga menyerupai sistem kerja manusia (Hendra Jaya, dkk, 2018:3).

Artificial Intelligence (AI) pertama kali disebut pada tahun 1956 dikonfrensi Darthmouth. AI sejak itu sudah menjadi agenda prioritas sebab teori-teori dan prinsip-prinsip kerja AI mengalami perkembangan. Misalnya era computer elektronik 1941 telah menemukan alat penyimpanan dan pemrosesan informasi. Tahun 1949 komputer mengalami perkembangan. Komputer bisa menyimpan program yang menjadi cikal bakal pengembangan program yang mengarah ke AI. (Ibid., 7) .

Pada tahun 1952-1969, AI mengalami banyak kesuksesan. Kesuksesan itu dimulai oleh Newell dan Simon yang berhasil mengubah program yang disebut General Problem Solver. Program ini dirancang untuk memecahkan masalah secara manusiawi. Setelah itu, McCarthy berhasil menciptakan program yang dinamakan Program With Common Sense. Program ini dirancang untuk menggunakan pengetahuan dalam mencari solusi. Misalnya computer mampu mendiagnosa penyakit yang dialami manusia secara akurat. Jadi, computer memudahkan manusia untuk mengetahui sebab sebuah penyakit (Ibid.).

Secara komersial, Artificial Intelligence (AI) memiliki keunggulan seperti bersifat permanen, mudah didublikasi dan disebarkan, lebih murah, bersifat konsisten, dapat didokumentasi, proses kerjanya lebih cepat, dan hasilnya lebih baik. Tentunya, keunggulan-keunggulan di atas bermuara pada efektivitas kerja manusia sehingga manusia hanya melakukan perkerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh AI (Ibid., 12)

III. AI dan Bencana Kemanusiaan Abad 21

 Suatu perubahan niscaya melahirkan keuntungan dan kerguian. Dari segi kerugian AI membawa bencana kemanusiaan pada umumnya. Hal ini bisa terjadi sebab system kerja AI lebih canggih dari system kerja manusia yang syarat menggunakan media konvensional. Beberapa fenomena bencana yang disebabkan oleh system kerja AI;

 Fenomena Disinformasi
Perkembangan teknologi saat ini makin besar. Hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki alat teknologi seperti Handpone. Kehadiran Handpone menandakan bahwa dunia mengalami kemajuan yang sangat signifikan bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia tidak lagi menggunakan media konvensional untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki jarak geografis yang jauh. Tetapi, dengan meletakkan jari di atas permukaan layar handpone, dalam sekejab mata komunikasi itu berjalan lancar.

Namun, perkembangan teknologi yang semakin canggih di satu sisi membawa dampak negatif bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang beradap. Hal ini terjadi dengan melihat data statistik penyebaran informasi palsu atau disinformasi di media sosial yang semakin meningkat. Arif Pendana dalam artikel berjudul “AI dan Disinfomrasi: Bagaimana Kecerdasan Buatan dapat Memperparah Penyebaran Hoaks Jelang Pemilu 2024” memaparkan bahwa disinformasi menjelang pemilu 2024 terus meningkat. Penyebaran disinformasi ini melalui AI yang memiliki kemampuan menciptakan dan mengamplifikasi disinformasi (Arif Pendana, 2023).

Berdasarkan Laporan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), penyebaran Hoaks di media sosial sering terjadi melalui aplikasi pengiriman pesan seperti WhatApp, Telegram, dan Line (F.X. Lilik Dwi Marjianto, 2023). Persis pada titik ini, AI memiliki keunggulan untuk mempublikasi dan menyebar informasi secara cepat seperti yang dijelaskan oleh Hendra Jaya, dkk. Namun, keunggulan AI dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyebarkan disinformasi kepada publik.

 AI dan Fenomena Peretasan Data Pribadi

Fenomena peretasan data pribadi menjadi persoalan besar era digital saat ini. Peretasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mengambil data pribadi seseorang dan dipublikasikan ke ruang publik. Sistem peretasan data pribadi ini dilakukan melalui aplikasi ChatGPT yang merupakan bagian dari sistem kerja AI (Uri Gal, 2023). 

ChatGPT bisa membangun interaksi dengan manusia melalui teks, pesan obrolan, email, dan telepon. Jika mereka memperoleh lebih banyak hal tentang diri kita maka mereka lebih mudah menebak kata sandi atau pin akun-akun pribadi (Daniel Prince, 2023). Misalnya kita memposting status di facebook, kemungkinan besar status dan data diri dikonsumsi oleh ChatGPT. 

Keunggulan AI ialah bisa menyamar sebagai pelayan sah, Bank, atau pejabat. Ketika interaksi itu terjadi, maka data pribadi dapat direkam dengan sendirinya.
Dampaknya bagi masyarakat pengguna media sosial ialah masyarakat tidak mengetahui secara persis bagaimana sistem kerja AI melalui aplikasi ChatGPT. Dengan tingkat kemampuan masyarakat yang masih rendah, AI dapat bekerja secara efektif untuk mengambil data privasi seseorang. Jadi, kehadiran AI sebenarnya sedang meroboh tembok pemisah antara data pribadi dengan data umum. Data pribadi bisa menjadi data umum tanpa sepengetahuan pribadi korban.

 AI dan Fenomena Pengangguran

Artificial Inteligence (AI) menurut fisikawan Setphen Hawsking dan Investor Elon Musk akan bekerja melampaui kemampuan manusia. Hal ini terjadi karena system kerja AI dapat meniru fungsi kerja kognitif manusia seperti pembelajran dan pemecahan masalah, misalnya para ilmuwan dapat meningkatkan kemampuan AI dengan meningkatkan system kerja saraf AI untuk bisa mengeja tata bahasa, memahami makna dari sebuah gambar, mengenali ucapan, dan menerjemahkan bahasa (Marko Robnik-Sikonja, 2017). 

Dengan tercitapnya funsi kognif pada AI maka konsekuensinya ialah manusia kehilangan kesempatan untuk bekerja. AI akan mengantikan posisi manusia dalam dunia kerja. Hal yang sama juga diuturakan oleh Frans Magnis-Suseno dalam bukungya berjudul Iman dalam Tantangan, Apakah Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberang”? (2023). Magnis-Suseno milihat salah satu tantangan manusia abad-21 ini ilaha kehadiran AI yang dapat mempersempit ruang kerja manusia dan menciptakan pengangguran tinggi. Pernyataan ini ekuivalen dengan hasil penetian menunjukkan kecerdsan buatan menyebabkan sekitar 230 ribu pekerja disektor keuangan hilang pada 2025. Pergeseran manusia dari dunia kerja mengakibatkan pada tingkat pengangguran semakin tinggi. Manusia kehilangan pekerjaan sebagai fondasi dasar untuk meningkatkan mutu kehidupan.
IV. Artificial Intelligence Sebuah Keniscayaan

Filsuf Yunani Kuno, Hiracletos mengatakan Nothing endures but change (Tidak ada sesuatu yang abadi, kecuali perubahan). Ungkapan Hiracletos di atas tentu berawal dari suatu petualangan intelektual yang mendalam tentang manusia dan alam. Manusia dan alam setiap saat pasti mengalami perubahan baik secara forma maupun materi. Karena itu, perubahan adalah keniscayaan. 

Hal yang sungguh terasa dari fenomena perubahan dewasa ini yakni munculnya teknologi baru yang dapat memudahkan pekerjaan manusia dan sekaligus juga menghambat pekerjaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah seharunya mengontruksi regulasi yang memperketat penggunaan artificial intelligence (AI) yang bertendensi merusak tatanan kehidupan manusia saat ini.

Regulasi yang dimaksudkan ialah pertama, membatasi para penggunaan AI dalam bidang tertentu sehingga masih ada peluang pekerja untuk bekerja seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastuktur. Kedua, pemerintah membuat regulasi yang bisa mengontrol informasi-informasi yang beredar di media sosial. 

Hal ini penting mengingat penyebaran Hoaks (berita bohong) massif dan sistematis di media sosial. Selain itu, untuk mengamankan data privasi masyarakat. Ketiga ialah memberikan sanksi kepada perusahan media sosial bila mereka gagal melawan kontens yang bertendesi menghina atau hoaks. 

Indonesia perlu belajar dari Jerman dalam hal memberikan sanksi kepada perusahan media sosial. Pemerintah Jerman berhasil memerangi fenomena hoaks dan ujaran kebencian di media sosial dengan menerapkan regulasi di atas.
Jadi, kehadiran AI saat ini bersifat paradoks. Di satu sisi membawa kemudahan bagi pekerjaan manusia tetapi di sisi lain menciptakan keresahan dan kepanikan. Namun, prubahan adalah suatu keniscayaan yang harus diterima karena itu merupakan bagian dari proses peradapan manusia. Maka, hal suka tidak suka harus dihadapi dengan memperketat regulasi yang dikonstruksikan oleh pemerintah agar AI sungguh bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia pada umumnya.

Kepergian

Tentang Kepergian,  pasti selalu ada jejak keindahan yang harus dikenang agar bisa mengerti bahwa tak selamanya Kepergian mening...