Minggu, 12 November 2023

Etika Keduniawian dan Relevansi Praktis di Tengah Dunia

 

Oleh: Vayan Yanuarius

Yosep Keladu menulis buku Etika Keduniawian menurut Hannah Arendt. Dalam buku tersebut ada  tiga poin penting yang hemat penulis sangat relevan dengan kehidupan politik jaman sekarang. Poin pertama membicara tentang modernitas: nihilistik dan Alienatif. Kedua ialah berpikir tentang dunia dan tanggung jawab, dan ketiga ialah menilai tindakan politik dan pencaharian makna. Ketiga poin utama dalam buku ini akan bermuara pada titik dimana Yosef Keladu memberikan afirmasi ulang dalam konteks kejahatan politik di tanah air yakni tindakan korupsi. Namun, untuk sampai pada titik kulminasi penjelasan buku ini, Yosef Keladu mengajak pembaca untuk mengenal secara garis besar siapa itu Hannah Arendt dan bagaimana maksud dari Etika Keduniawian itu sendiri.

Hannah Arendt adalah seorang filsuf perempuan berbangsa Jerman. Pemikirannya cukup progresif dalam bidang etika dan politik. Dalam menganalisis kehidupan politik, Arendt menggunakan pisau analisis fenomenologis yang mengindikasikan karakter hidup manusia di dunia yang bersifat faktual dan eksperiensial. Artinya ialah Arendt mengadopsi metode fenomenologis untuk menangkap struktur dasar pengalaman politis kehidupan manusia. Karena itu, Arendt sangat menghormati pluralitas kehidupan manusia. Pluralitas menurut Arendt adalah suatu keunikan yang perlu dilestarikan karena pluralitas merupakan unsur pembentuk suatu Negara. Sikap yang terpenting dari faktum pluralitas ialah komitmen dan tanggung jawab terhadap dunia kehidupan (lebenswelt) bersama.
Lebih lanjut Arendt menegaskan bahwa ada bersama dan di antara orang lain harus menjadi pusat dan fokus dari aktivitas politik.

Lalu, apa yang dimaksudkan dengan Etika Keduniawian? Menurut Reymond Geuss ada dua pengertian tentang Etika. Pertama, etika berarti peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana kita bertindak kearah orang lain. Kedua, etika menunjuk pada cara melihat dan berpikir tentang manusia (hal. 12). Sedangkan, term keduniawian diartikan sebagai dunia itu sendiri (hal. 13). Arendt dengan sengaja menggunakan term keduniawian karena menurut dia term keduniawian menunjukan kondisi eksistensial manusia dan realitas dunia. Karena itu, dalam Human Condition, Arendt mengatakan “manusia adalah ada yang terkondisikan karena segala sesuatu yang berkontak dengan mereka akan secara langsung menjadi sebuah kondisi hidup mereka. Apa saja yang menyentuh atau masuk ke dalam sebuah relasi yang tetap dengan hidup manusia secara langsung menjadi karakter dari kondisi eksistensial manusia”.

Poin pertama yang dibahas dalam buku ini ialah konsep modernitas: nihilistik dan Alienatif. Poin ini dikritik oleh Arendt karena menurut dia modernitas yang menciptakan kondisi worldlessness atau anti-politik. Worldlessness adalah kondisi yang kondusif terciptanya kejahatan melawan kemanusiaan atau mengondisikan orang untuk menjadi pelaku kejahatan. Dalam konteks ini Arendt mencoba mengangkat ke permukaan peristiwa pembantaian ribuan jiwa manusia di Jerman pada jaman Hitler di bawah komandan Eichman. Bagi Arendt, kejahatan yang dilakukan oleh Eichman merupakan salah satu bentuk dari worldlessness.

Friedrich Nietzsche menyebut worldlessness sebagai kehilangan dunia dan secara terbuka menilai nihilisme sebagai penyebabnya. Nihilisme adalah keyakinan bahwa nilai-nilai tertinggi tidak dapat direalisasikan dalam dunia (hal. 28). Konsep inilah yang mendasari pemikiran Nietzsche yang mengatakan “Tuhan telah mati”. Sementara Haidegger mempertimbangkan efek lain dari nihilisme. Menurut Haidegger nihilisme merupakan salah satu bentuk penyangkalan terhadap objek-objek yang ada di dunia ini. Dia mengatakan sesuatu dianggap riil kalau objek itu dispesifikasi lebih dahulu dalam intelek manusia (hal. 31). Hal ini disebut sebagai a priori representation.

Dari perspektif di atas, Arendt menilai bahwa bahaya nihilisme adalah berhentinya aktivitas manusia untuk berpikir (thoughtless). Ketika orang berhenti untuk berpikir maka besar kemungkinan manusia kehilangan daya kritis untuk menilai segala sesuatu yang baru.
Sementara, dalam konteks alienasi, Arendt menganalisis bahwa modernitas dapat menciptakan alienasi manusia dari dunia yang dipahami sebagai ruang bersama. Alienasi kemudian tampak jelas dalam filsafat modern yang dimulai oleh Socrates. Hal ini bertolak dari keraguan atas eksistensi dunia. Karena segala sesuatu yang berada di luar intelek diragukan eksistensinya maka satu-satunya cara untuk mencapai kepastian ialah introspeksi. Introspeksi menghancurkan aktualitas dengan memasukkan objek-objek dunia ke dalam intelek. Akibatnya ialah pemikiran manusia adalah hal yang paling pasti.

Poin kedua yang mau diangkat dalam buku ini ialah tanggung jawab terhadap dunia. Dunia dibentuk ketika manusia ada bersama untuk bertindak dan membicarakan persoalan bersama (hal. 91). Dengan demikian, dunia bersifat rapuh ketika setiap orang bertindak secara individual. Karena sifatnya yang rapuh itu maka Arendt berbicara tentang tanggung jawab terhadap dunia. Arendt sungguh percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi kerapuhan dunia ini. Keyakinan Arendt ini diadopsi dari konsep amor mundi, cinta akan dunia yang diambilnya dari St. Agustinus.
Konsep cinta kemudian diperluas maknanya oleh Arendt sebagai rasa kepedulian terhadap dunia. Ketika orang peduli dengan dunia, orang akan berupaya untuk memahami atau mengetahui dunia dan menilai apa yang sedang terjadi di dalamnya. Dengan berpikir tentang dunia kita berusaha mencitakan situasi yang kondusif dan efektif bagi kehidupan.
Selain kepedulian yang tinggi terhadap dunia, kita juga diajak untuk menjadikan dunia ini sebagai rumah kita sendiri. Arendt membicarakan hal ini dengan maksud supaya kita bercerita dan mengingat, seta pentingnya mengampuni dan berjanji. Tujuannya ialah untuk mempertahankan eksistensi sebuah dunia sebagai tempat kehidupan manusia.

Poin ketiga ialah menilai tindakan politik. Arendt mengindentifikasikan tindakan dan politik, dalam arti bahwa tindakan adalah politik dan politik adalah tindakan. Menurut Arendt ada kesamaan antara tindakan dan politik. Keduanya didasarkan pada kondisi pluralitas. Namun ada kemungkinan runtuhnya politik jika kita salah memahami politik itu sendiri. Misalnya, pertama ialah konsep politik ditarik ke dalam kodrat manusia sebagai makhluk politik. Asumsi ini dinilai keliru kerena tidak ada sesuatu yang bersifat politis dalam diri manusia.
Kedua ialah manusia secara kodrati tidak cocok untuk hidup bersama karena terjadi perang semua melawan semua seperti yang gagaskan oleh Thomas Hobbes. Realitas perang di atas membuat kehidupan manusia dalam keadaan alamiah tidak mempunyai makna sama sekali. Dalam penilaian Arendt, ide dari Hobbes di atas mereduksi sekaligus mengeliminasi pluralitas dan kebebasan berbicara dan bertindak. Menurut Arendt kita tidak dilahirkan dalam kemampuan yang sama atau sederajat. Kesederajatan kita dapat terjadi ketika kita membangun peradaban bersama untuk menjamin hak yang sama di antara kita.

Berpikir tentang dunia atau politik hendaknya melengkapi dengan kemampuan untuk menilai tindakan. Kerena itu, untuk menilai tindakan manusia kita, pada umunya menggunakan perspektif moral deontologi dan utilitarianisme. Kedua perspektif ini sangat membantu untuk menilai apakah sebuah tindakan baik atau jahat. Namun, Arendt menyangsikan kedua perspektif moral di atas karena bagi Arendt tindakan dinilai bukan berdasarkan pada kebaikan (goodness) tetapi kebesaran (greatness). Artinya ialah sebuah tindakan dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang terungkap atau ditemukan dalam pelaksanaan tindakan itu sendiri.

Untuk mempertajam pemahaman akan tindakan politik, Yosef Keladu menguraikan konsep Arendt tentang penilaian reflektif. Arendt melakukan observasi dari bukunya Kant, Critique of Judgment. Ia menemukan bahwa Kant mendefenisikan penilaian adalah kemampuan untuk memikirkan hal-hal partikular sebagaimana termasuk dalam hal-hal universal. Jika hal-hal universal (peraturan, prinsip, dan hukum) diberikan, maka penilaian di mana hal-hal partikular dimasukan ke dalam yang universal disebut determinate. Karena itu, penilaian relektif berupaya untuk menemukan yang universal dalam penilaian partikular dan dengan demikian penilaian reflektif bertujuan membentuk isi yang bersifat konkret dan dapat dikomunikasikan secara universal dari pengalaman.

Arendt juga menekankan dalam menilai kita hendaknya mempertimbangkan pendapat orang lain. Hal ini menunjukan respek terhadap orang lain, karena seperti diri kita sendiri, orang lain adalah pribadi-pribadi yang bertindak dan berpikir. Keyakinan pada kemampuan orang lain untuk mengidikasikan bahwa semua manusia mempunyai kemampuan yang umum dan karena itu dapat menilai dari yang berbeda dari dunia. Karena itu, Arendt menekankan batasan etis dari semua penilaian adalah perbuatan atau perkataan yang bertahan dalam dunia manusia. Hal itu berarti perhatian yang khusus terhadap yang partikular untuk kebaikan bagi semua orang atau publik. Jadi, setiap kali kita menilai sebuah tindakan yang terjadi dalam dunia, kita mengamati apa kehebatan dari tindakan tersebut untuk masyarakat umum (publik).

Poin terakhir dari buku Etika Keduniawian ialah banalitas kejahatan korupsi dan aktivitas berpikir. Poin ini menjadi titik simpul ulasan dari Yosef Keladu. Yosef Keladu mengangakat kasus korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Dia mengatakan korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap banalitas. Artinya korupsi dipandang sebagai faktum yang biasa-biasa saja karena sering dilakukan. Persoalan muncul ketika korupsi ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, kehidupan rohani sangat baik dan pengetahuan yang sangat luas. Karena itu, Arendt mengatakan bahwa terlalu naif kalau kita katakan korupsi terjadi karena system yang memungkinkan seseorang bertindak korupsi.

Menurut Arendt, sistem itu diciptakan oleh manusia. Karena itu, sifatnya tidak permanen dan dapat diubah ketika system itu tidak produktif untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi memang dilakukan oleh manusia dengan tingkat kesadaran yang tinggi khususnya para pejabat publik atau aktor politik. Mereka kurang mampu untuk mengasah daya kritis dan representatif ketika berhadapan dengan system yang mereka ciptakan sendiri.

Menurut penulis keunggulan dari argumentasi Arendt terletak pada kemampuannya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang ada. Dia tidak sebatas pada penemuan akar persoalan dari korupsi tetapi lebih dari itu yakni solusi. Solusi yang ditawarkan oleh Arendt ialah aktivitas berpikir. Menurut Arendt, seperti yang disinggung pada poin sebelumnya bahwa berpikir merupakan jaringan yang paling aman untuk melawan kejahatan termasuk korupsi. Dan, dalam aktivitas berpikir hal pertama yang mesti dilakukan ialah refleksi, melihat diri sendiri atau berpikir tentang diri sendiri. Karena itu, ia harus berdialog dengan diri sendiri seperti yang sering dilakukan oleh Socrates. Socrates pernah mengatakan bahwa lebih baik bagiku kalau banyak orang tidak sepaham dengan saya dan menentang saya daripada saya bertentangan dengan diriku sendiri.

Arendt akhirnya dengan penuh kepercayaan menilai kejatahatan korupsi bisa diatasi apabila seseorang yang berada di dalam lingkaran kekuasaan terus mengasah kemampuan berpikir reflektif. Karena berpikir reflektif dapat menghasilkan tindakan-tindakan yang produktif dan berdaya guna bagi banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kepergian

Tentang Kepergian,  pasti selalu ada jejak keindahan yang harus dikenang agar bisa mengerti bahwa tak selamanya Kepergian mening...